Idul Fitri, seperti telah dipahami oleh banyak orang, memiliki dua makna. Pertama, hari raya yang suci karena berasal dari dua kata ‘id’ yang berarti hari raya dan ‘fitrah’ yang berarti suci.
Pada hari ini, setiap orang yang menjalani puasa sebulan penuh dengan segala ritualnya seperti tarawih dan mengkaji Al Qur’an diyakini kembali kepada kesucian.
Kedua, hari raya berbuka karena Idul Fitri juga dapat berasal dari kata ‘futur’ atau ‘iftar’ yang bermakna berbuka atau sarapan.
Pada kamus Bahasa Al Maany, secara bahasa ‘iftar’ berarti memecah. Dalam konteks ini, ‘iftar’ adalah memecah suatu keadaan tanpa makanan dalam waktu yang panjang semalaman dengan melakukan makan di pagi hari yang disebut sarapan.
Dengan maksud yang sama, ‘iftar’ juga bermakna kembali makan setelah berpuasa pada durasi yang panjang dari shubuh hingga kemudian berbuka pada saat magrib.
Lebaran Idul Fitri, jika dimaknai yang kedua, maka dapat juga dianggap sebagai Hari Raya Makanan setelah sebulan penuh di Bulan Ramadhan menahan diri tidak makan di siang hari, lalu kemudian pada 1 Syawal kembali dibolehkan makan di siang hari.
Pantas saja di hari lebaran hampir semua makanan yang semula jarang terlihat kembali muncul ke meja makan.
Bagi masyarakat Nusantara, ketupat dari daun kelapa atau daun pandan hadir sebagai makanan wajib di setiap meja makan. Menu lain seperti rendang, opor, burgo, pempek, bakso, laksa, juga menambah kaya hidangan lebaran.
Kuliner seperti kue basah maupun kue kering juga menambah semarak lebaran. Tentu kehadiran beragam makanan di hari lebaran menunjukkan Indonesia kaya dengan beragam budaya kuliner.
Dari Sabang hingga Merauke, setiap daerah di nusantara memiliki kekayaan kuliner yang khas yang menjadi penanda dalam merayakan Idul Fitri.
Bahkan seringkali kuliner yang disajikan bukan hanya sajian untuk keluarga dan tamu yang datang, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam untuk menggambarkan kebersamaan, rasa syukur, dan berbagi rezeki.
Cara rakyat Nusantara memuliakan makanan itu sejalan dengan pepatah Asia kuno yang mengatakan “Rakyat memuliakan makanan dan Raja memuliakan rakyat.”
Bahan pangan
Pada konteks masa kini, raja yang dimaksud tentu adalah pemerintah termasuk aparatnya dari level tertinggi hingga level terendah.
Hal itu pula yang saat ini dihadapi pemerintah meskipun makanan berlimpah di meja makan setiap lebaran.
Terdapat tantangan yang berulang kali muncul menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah dan masyarakat seringkali menghadapi kelangkaan bahan baku pangan yang terjangkau.
Contoh yang paling menarik adalah harga kelapa parut yang mencapai Rp30.000 per kg, bahkan di beberapa tempat sempat ke angka Rp40.000 per kg.
Di luar musim lebaran, harga kelapa parut jarang mencapai Rp20.000 per kg. Namun, beberapa pedagang mengatakan bahwa kelangkaan kelapa sebetulnya telah terjadi sejak tiga bulan lalu.
Para pedagang berargumen sebelumnya harga kelapa parut per kg biasanya di bawah Rp15.000 per kg tetapi terkerek naik sedikit demi sedikit.
Hal ini menjadi alarm bagi pihak terkait bahwa jumlah panen kelapa di Bumi Rayuan Pulau Kelapa semakin berkurang sehingga peremajaan pohon kelapa di Indonesia sudah harus kembali menjadi perhatian.
Jika tidak diperhatikan, bukan tidak mungkin suatu saat menjelang lebaran pemerintah harus mengimpor kelapa seperti saat ini harus mengimpor daging.
Demikian pula ketersediaan bahan baku pangan lain yang melimpah sangat penting agar hidangan khas lebaran dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.
Semua sudah mafhum, harga bahan pangan sering kali meningkat tajam menjelang Lebaran. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti meningkatnya permintaan, distribusi yang terbatas, hingga cuaca yang tidak mendukung produksi.
Akibatnya, masyarakat harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan pangan, termasuk bahan-bahan untuk membuat ketupat, rendang, opor, dan kue lebaran.
Stabilitas harga
Pemerintah berperan penting menjaga harga bahan pangan yang stabil terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatur pasokan dan harga bahan baku pangan agar setiap orang dapat menikmati makanan khas lebaran tanpa terbebani oleh harga yang melambung tinggi.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan sistem distribusi pangan di seluruh Indonesia.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan distributor dan produsen untuk memastikan pasokan bahan pangan yang dibutuhkan selama masa lebaran lancar mulai dari bahan baku seperti beras, daging, ayam, hingga bahan pelengkap seperti kelapa dan rempah-rempah.
Pemerintah juga dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap harga pangan di pasar tradisional dan modern.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan seringkali menyebabkan harga bahan pangan melonjak tinggi.
Pengawasan yang ketat, serta penegakan hukum terhadap praktik spekulasi harga dapat menjaga harga tetap wajar sehingga masyarakat dapat membeli dengan harga terjangkau.
Langkah lain yang penting adalah memperkuat cadangan pangan nasional. Pada masa tertentu, seperti menjelang Lebaran dan Natal, maka kebutuhan pangan meningkat drastis.
Pada periode itu pemerintah perlu memastikan cadangan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pemerintah dapat melakukan strategi jangka panjang, seperti mendukung program-program ketahanan pangan di daerah-daerah yang memiliki potensi hasil pertanian yang melimpah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan.
Ketika di hari lebaran bahan baku pangan tersedia dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, maka pemerintah telah sukses memuliakan rakyatnya seperti rakyat memuliakan makanan.
Hanya dengan kolaborasi antara pemerintah, produsen, dan masyarakat, Hari Raya Idul Fitri dapat dirayakan dengan penuh kebahagiaan karena ketersediaan pangan yang melimpah dan terjangkau bagi semua.
*) Dr Destika Cahyana, SP, MSc adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, BRIN.
Copyright © ANTARA 2025