Di tengah duka mendalam, kehancuran, serta kehilangan rumah dan orang-orang tercinta, para ibu berusaha menciptakan momen kebahagiaan sekecil apa pun bagi anak-anak mereka. Mereka mencoba melindungi buah hati mereka dari kesulitan yang semakin parah akibat penutupan perbatasan oleh Israel.
Tahun ini, Idul Fitri -- hari raya yang menandai berakhirnya bulan suci Ramadan -- datang saat Gaza berada dalam kondisi krisis kemanusiaan dan ekonomi yang semakin parah, seiring dengan meningkatnya serangan Israel.
Idul Fitri merupakan salah satu dari dua hari raya besar dalam Islam, selain Idul Adha.
Sejak 2 Maret 2025, Israel telah memberlakukan blokade total di Jalur Gaza dengan menutup seluruh perbatasan dan mencegah masuknya bantuan kemanusiaan, medis, serta logistik darurat.
Pasar-pasar nyaris kosong, sementara harga barang yang tersisa melambung tinggi, membuat warga Palestina --yang semakin terpuruk akibat perang -- kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Pekan lalu, Kantor Media Pemerintah Gaza mengumumkan bahwa wilayah itu telah memasuki fase pertama kelaparan akibat blokade yang berkepanjangan serta terhambatnya akses bantuan penyelamatan jiwa.
Keteguhan untuk Bertahan
Di tengah keterbatasan, Kawthar Hussein duduk di samping tungku tanah di sudut tempat pengungsian, berusaha menyalakan api untuk memanggang kue Idul Fitri, sementara artileri Israel terus membombardir wilayah sekitarnya di Jalur Gaza.
Karena blokade menghambat akses ke gas untuk memasak, para perempuan di sana terpaksa menggunakan kardus dan kayu bakar untuk memasak, sebuah proses yang melelahkan dan memakan waktu.
Meski asap memenuhi udara, Hussein tetap telaten menyusun adonan kue di atas nampan sebelum dipanggang.
"Suasana di sini sangat menyedihkan. Kami kehilangan banyak saudara dan orang-orang yang kami cintai, serta menghadapi krisis kemanusiaan yang sangat berat," ujarnya.
"Kami adalah bangsa yang mencintai kehidupan. Kami tidak ingin anak-anak kami hidup dalam kekurangan. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka, meskipun hanya sedikit," kata Hussein kepada Anadolu.
Sebelum perang, ia biasa membuat sekitar 9 kilogram kue untuk Idul Fitri. Namun tahun ini, ia hanya mampu membuat 1 kilogram, sekadar untuk memberikan sedikit kebahagiaan bagi anak-anak yang terkena dampak perang.
Meski duka menyelimuti, ia meyakini bahwa merayakan Idul Fitri adalah salah satu "syiar Allah yang harus dihidupkan kembali."
Secercah Kebahagiaan di Tengah Perang
Umm Mohammed, salah seorang ibu Palestina, juga berusaha menghadirkan suasana Idul Fitri bagi anak dan cucunya dengan membuat kue untuk mereka.
"Kami berhasil membuat sedikit kue agar anak-anak bisa merasakan kembali ritual Idul Fitri yang mereka lewatkan di tengah genosida ini," ujarnya kepada Anadolu.
"Kesedihan menyelimuti mereka. Kami mencoba menghibur anak-anak dengan memberikan satu kue untuk masing-masing anak. Itu saja yang bisa kami lakukan," tambahnya.
Pada 18 Maret, tentara Israel melancarkan serangan udara mendadak ke Gaza, menewaskan 896 orang dan melukai hampir 2.000 lainnya, mengakhiri gencatan senjata serta kesepakatan pertukaran tahanan.
Sejak Oktober 2023, serangan Israel telah merenggut nyawa lebih dari 50.200 warga Palestina -- sebagian besar perempuan dan anak-anak -- serta melukai lebih dari 114.000 orang, menurut otoritas kesehatan setempat.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan kepala pertahanan Yoav Gallant November lalu atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait perang yang mereka lancarkan di wilayah tersebut.
Sumber: Anadolu
Baca juga: UNICEF: Blokade bantuan Gaza oleh Israel ancam nyawa anak-anak
Baca juga: Israel perintahkan evakuasi segera warga sipil di Khan Younis, Gaza
Baca juga: MUI dukung penuh pembangunan RS Ibu dan Anak Indonesia di Gaza
Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025