Gaza (ANTARA) - Abdullah al-Ashqar, seorang pekerja konstruksi berusia 45 tahun sekaligus ayah dari lima anak, berdiri di depan rak-rak bahan makanan yang nyaris kosong, dengan harga yang melonjak tinggi tertera pada setiap label.

Bagi al-Ashqar, bulan suci Ramadhan telah berubah dari bulan kegembiraan menjadi bulan keputusasaan yang mendalam.

"Ramadan dulu berarti kegembiraan bagi kami," kata al-Ashqar. "Kami biasanya berkumpul di sekeliling meja, berbuka puasa bersama, dan aroma roti yang baru matang memenuhi rumah."

Pada awal Maret, otoritas Israel memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan alasan berakhirnya tahap pertama kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas. Langkah ini mengakibatkan penutupan perlintasan perbatasan Kerem Shalom, yang merupakan jalur utama Gaza untuk pasokan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.

Blokade itu bertepatan dengan dimulainya bulan Ramadan bagi lebih dari 2 juta penduduk Gaza, sebuah periode yang biasanya ditandai dengan perayaan bersama masyarakat dan penyegaran spiritual. Sebaliknya, banyak keluarga kini menjalani Ramadan dengan dapur kosong dan harapan yang memudar.

  Seorang pria menjual produk di sebuah pasar menjelang Ramadhan di Kota Gaza pada 28 Februari 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
 "Setiap hari anak-anak bertanya kepada saya, 'Apa yang akan kita makan hari ini?" kata al-Ashqar. "Dan saya tidak bisa menjawab."   

Sebelum konflik, penghasilannya dari pekerjaan konstruksi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kini, dengan terputusnya rantai pasokan, bahkan barang-barang kebutuhan pokok pun menjadi barang mewah yang tak terjangkau.

Di seantero Gaza City, pasar-pasar yang dulunya ramai kini nyaris kosong. Para pedagang makanan, seperti Mahmoud al-Far, hanya bisa pasrah melihat para pembeli yang datang ke stannya, lalu bertanya tentang harga, dan pergi dengan tangan hampa.

 

Seorang perempuan menyiapkan makanan di dekat rumah mereka yang rusak di Beit Lahia di Jalur Gaza utara pada 3 maret 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)   
"Penutupan Kerem Shalom berarti tidak ada barang yang masuk," ujar al-Far, seraya menunjuk ke arah rak-rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, gula, dan minyak goreng. "Orang-orang datang, bertanya tentang harga, lalu pergi. Mereka bahkan tidak mampu membeli kebutuhan pokok."   

Bagi Mariam al-Hattab, seorang ibu berusia 40 tahun dengan tujuh anak yang sebelumnya menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai pembersih rumah, keruntuhan ekonomi telah menghilangkan mata pencahariannya dan membuatnya tidak mampu menyediakan makanan untuk anak-anaknya.

"Momen tersulit bagi saya adalah ketika anak bungsu saya meminta makanan, dan saya tidak punya apa-apa," kata al-Hattab sambil menangis. "Bagaimana Anda mengatakan kepada seorang anak bahwa tidak ada yang bisa dimakan?"

 

 

 

   Warga Palestina terlihat di sekolah yang rusak di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara pada 8 Maret 2025. (Xinhua/Mahmoud Zaki)
Para pejabat Hamas menggambarkan blokade tersebut sebagai hukuman kolektif. Salama Maarouf, kepala kantor media pemerintah yang dikelola Hamas, menegaskan bahwa "menutup perlintasan Kerem Shalom berarti memutus bantuan kemanusiaan, menghentikan aliran obat-obatan, dan menciptakan kelangkaan makanan yang menghancurkan."

Pemerintah Israel menyatakan bahwa masalah keamanan mengharuskan adanya kontrol ketat atas apa yang masuk ke Gaza, mengutip kekhawatiran bahwa Hamas dapat mengalihkan bantuan untuk tujuan militer.

Namun, kelompok-kelompok kemanusiaan berpendapat bahwa pembatasan yang ada saat ini sudah melampaui batas keamanan dan menyebabkan bencana kemanusiaan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berulang kali memperingatkan bahwa Gaza berada di ambang kelaparan.

Di dunia Muslim, Ramadhan biasanya menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga dan komunitas saat berbuka puasa. Di Gaza, tradisi ini telah berubah menjadi pengingat yang menyakitkan akan apa yang telah hilang.

"Kami biasanya duduk bersama untuk berbuka puasa, meskipun hanya dengan hidangan sederhana," kenang al-Hattab. "Kini, kami duduk dalam keheningan. Saya tidak ingin anak-anak saya melihat kelemahan saya, tetapi saya tidak punya apa-apa untuk diberikan." 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pewarta: Xinhua
Editor: Martha Herlinawati Simanjuntak
Copyright © ANTARA 2025