Bagi masyarakat Aceh, merayakan hari "meugang" dengan mengonsumsi daging sapi/kerbau setiap memasuki puasa Ramadhan itu sudah diperingati sejak masa kesultanan, terutama zaman Sultan Iskandar Muda.
Pada setiap hari "meugang", permintaan daging sapi/kerbau di Aceh mengalami peningkatan cukup tajam, bahkan tidak kurang dari 200 persen, sehingga harganya pun naik bekisar Rp160.000 sampai Rp200.000 per kilogram, sedangkan hari biasanya paling tinggi Rp150.000 per kilogram.
Baca juga: Ribuan nelayan Aceh Timur tidak melaut sambut tradisi meugang
Kesannya masyarakat juga tidak lagi mempersoalkan kenaikan harga, sebab yang penting bisa menikmati hidangan atau masakan bermenu utama daging sapi/kerbau pada hari "meugang" menyambut puasa.
Para pedagang kaget juga bermunculan, mendirikan lapak-lapak di pinggir jalan atau di pasar-pasar yang telah ditentukan pemerintah untuk berjualan daging sapi-kerbau pada hari "meugang" menyambut puasa Ramadhan.
Lokasi-lokasi pedagang kaget menjual daging pada hari "meugang" itu juga ramai sejak pagi hari, sehingga kemacetan jalan raya akibat padatnya arus kendaraan roda dua dan empat tidak terhindarkan disebabkan antusiasme masyarakat menyambut bulan suci Ramadhan.
Pada hari penyembelihan hewan ternak "meugang" di Aceh, harga-harga bahan kebutuhan juga bergerak naik tajam, seperti cabai merah, bawang merah, tomat dan rempah-rempah penyedap masakan dikarenakan permintaan naik.
Konon, tradisi "meugang" setiap menjelang Ramadhan di Aceh itu ternyata sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda.
Baca juga: Cegah COVID-19, Pemkab Aceh Barat tiadakan lapak saat tradisi meugang
Selain dibeli di pasar atau pedagang kaget yang mendirikan lapaknya di pinggir jalan, daging sapi/kerbau juga dibeli secara patungan antarwarga atau dalam bahasa Aceh populer disebut "meuripee".
Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) misalnya, pada "meugang" Ramadhan 1443 Hijriah ini menyembelih dua ekor sapi yang dananya diperoleh dari "meuripee" atau patungan, kemudian disepakati penyembelihannya dilakukan secara gotong-royong.
Setiap anggota KWPSI yang telah menyerahkan dana pengadaan sapi masing-masing Rp200 ribu itu berhak mendapatkan setumpuk daging. Setumpuk dengan berat berkisar dua kilogram daging, ditambah bagian tulang yang masih ada dagingnya.
Selain diserahkan kepada anggota KWPSI yang ikut patungan, daging sapi tersebut juga disalurkan kepada kaum fakir desa sekitar tempat penyembelihan hewan ternak tersebut dan anak yatim khususnya dari keluarga wartawan.
Merajut silaturahmi menjelang Ramadhan juga menjadi salah satu moment "meugang" yang dilaksanakan secara patungan (meuripee).
Baca juga: Tradisi "meugang" di tengah pandemi COVID-19 di Aceh
Kolektor Manuskrip Aceh Tarmizi A Hamid menjelaskan "meugang" merupakan tradisi di Aceh yang sudah dilaksanakan sejak abad ke-17 atau masa puncak kejayaan Aceh yang dipimpin Sultan Iskandar Muda, dan termaktub dalam Undang-undang Aceh "Qanun Meukuta Alam".
Tradisi "meugang" ini, kata Tarmizi yang populer disapa Cek Midi, tujuannya juga untuk memupuk rasa kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama di kalangan masyarakat Aceh itu sendiri.
"Pada momen ini juga ada orang yang mampu membeli daging sapi dan menyerahkannya kepada orang yang tidak mampu. Terkandung nilai yang sangat mulia bagi orang Aceh, apalagi menjelang Ramadhan," katanya.
Oleh karena itu, Tarmizi A Hamid menjelaskan, tradisi masa lalu ini perlu dilestarikan apalagi tujuannya untuk memupuk kebersamaan dan silaturrahmi serta menggugah kepedulian kepada orang-orang yang tidak mampu.
Bahagia bagi perantau
Makna lain yang tersirat pada hari "meugang" menyambut Ramadhan adalah bahagianya bagi para perantau untuk bisa kembali ke kampung berkumpul sambil makan bersama, terutama menu daging yang dimasak oleh orang tuanya.
Momen perantau mudik ke kampung halamannya untuk merayakan "meugang" bersama keluarga atau orang tuanya, misal di Banda Aceh dapat dilihat mulai tutupnya tempat-tempat usaha seperti restoran dan warung kopi dikarenakan pekerja atau pemiliknya pulang kampung.
Mudik di kalangan masyarakat Aceh tidak hanya menyambut hari raya, tapi menjelang puasa juga ramai lewat momen "saweu gampong" menjengguk orang tua dan saudara, serta mengunjungi makam keluarga (ziarah) sebelum Ramadhan tiba.
Baca juga: Pemkab Aceh Barat larang tradisi jual daging meugang cegah COVID-19
Makna lain hari "meugang" adalah seorang pengantin laki-laki yang baru menikah atau dalam bahasa Aceh disebut "linto baro" merasa martabatnya lebih terhormat jika mampu mambawa pulang daging ke rumah mertuanya.
Meski demikian, bukan berarti masyarakat tidak mengonsumsi daging sapi/kerbau pada hari-hari biasanya, namun pada hari "meugang" menjelang Ramadhan, konsumsi-nya berlipat juga sebagai persiapan makanan bergizi saat menunaikan puasa.
Selain itu ada tradisi khusus makan bersama dengan menu utama "kuah beulangong" yang juga disajikan seusai melaksanakan penyembelihan sapi "meungang" yang dilakukan KWPSI di Gampong Meunasah Gla Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.
Politikus PKS Farid Nyk Umar menjelaskan, tradisi meugang sudah ada sejak zaman Sultan Iskandar Muda, dan hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakat di provinsi berpenduduk sekitar 5,2 juta jiwa itu.
Baca juga: Berburu daging "meugang" tradisi sambut Ramadhan di Aceh
Tradisi "meugang" yang cukup unik dan menarik ini, menurut Farid, harus terus dipertahankan karena sangat positif misal mengandung makna saling berbagi dan silaturrahmi sesama masyarakat.
Ia mengurai sejarah saat itu Sultan Iskandar Muda meminta kepada para petinggi istana untuk melaksanakan "meugang" dan daging sapi/kerbau dibagikan kepada warga di sekitar kerajaan, terutama kepada orang miskin.
Daging sapi yang dibawa pulang ke rumah itu, kemudian diolah beragam jenis masakan, seperti "kuah beulangong", sie reboh (direbus dengan aneka bumbu), masak puteh dan rendang. Bahkan, sebagian daging tersebut diasinkan yang dalam bahasa Aceh disebut "sie balue".
Tradisi "meugang" menyambut Ramadhan yang merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Aceh yang di dalamnya mengandung berbagai nilai luhur itu diharapkan dapat dilestarikan di tengah-tengah pengaruh globalisasi.
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2022