Peringkat kredit harus dipahami bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai alat ukur
Jakarta (ANTARA) - Keputusan Moody’s Investors Service untuk mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada level Baa2 dengan outlook stabil bukan sekadar pengakuan teknokratis atas ketahanan fiskal dan ekonomi nasional.
Lebih dari itu, ini adalah cerminan dari cara dunia memandang kredibilitas kebijakan Indonesia, efektivitas pemerintah dalam menjaga stabilitas makroekonomi, serta tingkat kepercayaan terhadap arah pembangunan jangka panjang negara ini.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menyatakan bahwa hasil tinjauan berkala Moody’s tersebut mencerminkan keyakinan global terhadap ketahanan ekonomi Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, juga menegaskan bahwa kepercayaan lembaga pemeringkat internasional tersebut menjadi indikator positif atas resiliensi ekonomi nasional.
Di tengah gejolak global, ketidakpastian geopolitik, dan tekanan fiskal yang melanda banyak negara berkembang, posisi Indonesia yang tetap berada dalam kategori investment grade adalah sebuah capaian yang patut diapresiasi.
Namun, seperti halnya setiap pengakuan internasional, capaian ini juga membawa tanggung jawab besar.
Moody’s tentu tidak memberikan peringkat ini secara cuma-cuma. Mereka mencermati sejumlah indikator makroekonomi, termasuk pertumbuhan PDB, defisit fiskal, rasio utang terhadap PDB, cadangan devisa, kestabilan sistem keuangan, serta ketahanan eksternal.
Dalam berbagai indikator tersebut, Indonesia menunjukkan performa yang relatif solid. Faktor struktural seperti kekayaan sumber daya alam dan demografi yang menguntungkan menjadi pilar utama yang mendukung ketahanan ekonomi nasional.
Kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan dengan disiplin juga memperkuat profil kredit Indonesia.
Baca juga: Moody's pertahankan peringkat kredit Indonesia dengan outlook stabil
Moody’s memproyeksikan pertumbuhan PDB riil Indonesia akan tetap solid, dengan rata-rata sekitar 5,0 persen pada tahun 2025 dan 2026.
Pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi yang kuat, serta stabilnya volume komoditas yang mendukung ekspor.
Namun, Moody’s mengingatkan adanya risiko perlambatan yang bisa muncul akibat dinamika global, termasuk tensi perdagangan dan ketidakpastian geopolitik.
Beban utang Indonesia diperkirakan akan tetap stabil pada tingkat yang relatif rendah dibandingkan dengan ukuran ekonominya dan negara peers (negara pembanding).
Meski basis pendapatan negara masih perlu diperluas, Moody’s menilai situasi fiskal Indonesia masih terkelola dengan baik.
Namun yang lebih krusial adalah ekspektasi atas keberlanjutan kebijakan. Ini menjadi penopang utama peringkat dan outlook ke depan. Di sinilah tantangan besar dimulai.
Pemerintah tidak boleh berhenti pada kepuasan administratif bahwa Indonesia berada dalam kategori investment grade. Yang diperlukan adalah keberanian untuk melompat ke peringkat yang lebih tinggi, seperti A3 atau A2.
Baca juga: OJK: Peringkat Moody's bukti kepercayaan global terhadap ekonomi RI
Baca juga: BI: Kepercayaan Moody's terhadap ekonomi RI jadi indikator positif
Reformasi Struktural
Masyarakat perlu memaknai peringkat ini sebagai landasan untuk mempercepat reformasi struktural.
Baa2 menempatkan Indonesia pada posisi terbawah dalam kategori layak investasi. Artinya, Indonesia dinilai cukup kredibel untuk menarik investasi, tetapi belum dianggap luar biasa menarik.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar Indonesia naik kelas menjadi negara dengan risiko rendah dan daya saing tinggi di mata investor global.
Agenda utama ke depan mencakup penguatan daya saing industri domestik, khususnya di sektor hilirisasi dan manufaktur teknologi menengah.
Peringkat kredit bukan hanya soal fiskal, tetapi juga mencerminkan ketahanan ekonomi jangka panjang. Negara yang memiliki basis industri yang dalam, ekspor bernilai tambah tinggi, dan tenaga kerja produktif akan lebih dipandang prospektif oleh investor.
Artinya, strategi industrialisasi Indonesia harus lebih terarah. Tidak cukup hanya mengandalkan ekspor nikel mentah atau mineral lainnya. Pemerintah perlu mendorong investasi di sektor riset industri, teknologi bersih, dan ekosistem inovasi lokal.
Indonesia harus menjadi tempat menciptakan nilai, bukan sekadar tempat menambang.
Selain itu, penguatan institusi fiskal dan kualitas belanja negara menjadi fokus utama.
Peringkat kredit tidak hanya mencerminkan besarnya defisit atau rasio utang, tapi juga menilai efisiensi belanja negara, efektivitas subsidi, dan kemampuan dalam mereformasi sistem perpajakan.
Reformasi perpajakan sejauh ini masih menghadapi stagnasi, baik dari sisi sempitnya basis perpajakan maupun kinerja pelayanan yang belum inklusif.
Pemerintah harus berani memperluas digitalisasi sistem pajak, menjangkau sektor informal, menyederhanakan insentif fiskal yang tumpang tindih, serta menata ulang belanja agar lebih produktif khususnya untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Baca juga: Sri Mulyani sebut kinerja indeks manufaktur dan neraca dagang RI bagus
Baca juga: Moody's proyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen pada 2024
Adaptif dan Proaktif
Di sisi lain, Indonesia perlu membangun narasi ekonomi jangka panjang yang konsisten dan mampu menjawab tantangan global.
Dunia sedang bergerak ke arah ekonomi hijau, digitalisasi, dan deglobalisasi sebagian rantai pasok. Indonesia tidak boleh hanya bersikap responsif, tetapi juga harus adaptif dan proaktif.
Salah satu langkah konkret adalah mengembangkan instrumen pembiayaan hijau secara masif, seperti green bond, sukuk hijau, dan blended finance untuk mendanai proyek transisi energi serta mitigasi perubahan iklim.
Jika berhasil, dunia akan melihat Indonesia bukan hanya sebagai negara berkembang yang aman untuk investasi, tetapi juga sebagai pemimpin dalam inovasi pembiayaan dan pembangunan berkelanjutan.
Peringkat Baa2 ini harus menjadi momentum untuk memperkuat daya tahan, bukan hanya terhadap krisis ekonomi, tetapi juga terhadap krisis kepercayaan.
Dunia sangat peka terhadap sinyal politik dan ekonomi. Kebijakan yang tidak konsisten bisa menyebabkan runtuhnya kepercayaan pasar dalam waktu singkat.
Karena itu, pemerintah perlu menjaga komunikasi yang jelas kepada investor, menghindari ambiguitas, serta memastikan stabilitas hukum dan institusi dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi. Kejelasan arah dan konsistensi pelaksanaan adalah “mata uang” utama dalam pasar kepercayaan global.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah akan terus memperkuat fondasi ekonomi nasional dan mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
Moody’s pun menyatakan bahwa peringkat Indonesia bisa meningkat jika upaya memperluas sektor manufaktur dan meningkatkan daya saing komoditas dilakukan secara berkelanjutan.
Kini saatnya membangun narasi bahwa Indonesia bukan sekadar negara dengan risiko menengah yang aman untuk investasi, tetapi juga negara dengan visi jangka panjang, komitmen reformasi, dan ambisi untuk menjadi pemimpin di antara negara-negara berkembang.
Peringkat kredit harus dipahami bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai alat ukur. Ia adalah cermin, bukan panggung. Dan cermin yang jujur, jika dibaca dengan benar, justru mendorong kita untuk menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih visioner.
Baca juga: Moody's ingatkan penutupan pemerintahan AS buruk bagi peringkat kredit
Baca juga: S&P dan Moody's naikkan peringkat Saudi karena reformasi non-minyak
Copyright © ANTARA 2025