Mencermati harga dan memilih produk-produk dengan harga promosi menjadi rutinitas dalam kegiatan belanjanya.
"Beberapa tahun yang lalu, ketika nilai tukar dolar Amerika Serikat masih di angka 1.500 pound Lebanon, saya dapat mengisi keranjang belanja tanpa berpikir dua kali tentang harga. Namun, sekarang, saya harus mempertimbangkan setiap barang yang saya beli," tutur Younes.
Bekerja sebagai pramuniaga, Younes memperoleh upah 450 dolar per bulannya, dan 1 dolar AS saat ini setara dengan sekitar 89.500 pound Lebanon.
"Saya mengurangi konsumsi daging atau menggantinya dengan ayam yang lebih murah. Kami juga tidak mampu membuat fattoush setiap hari karena harga sayuran naik lebih dari dua kali lipat dalam beberapa kasus," kata Younes.
Fattoush, sejenis salad yang merupakan hidangan wajib saat Ramadhan atau berkumpul bersama keluarga, merupakan campuran dari potongan sayuran yang diaduk dengan potongan roti pita garing yang dipanggang atau digoreng.
Sebuah studi yang dilakukan oleh perusahaan riset Lebanon International Information menggunakan harga sepiring fattoush sebagai indikator biaya hidup. Harganya meroket dari 4.250 pound pada 2020 menjadi 285.540 pound pada 2025, menandai lonjakan mencengangkan sebesar 6.618 persen.

Howayek mengatakan perihal kenaikan luar biasa untuk harga sayuran dan menyebut tanaman krokot sebagai contoh. Sekotak krokot dibanderol seharga 400.000 pound sebelum Ramadhan, tapi, harganya melonjak menjadi 2,5 juta pound pada bulan Ramadhan.
Tak jauh berbeda, sekotak peterseli yang harganya 800.000 pound sebelum Ramadhan, kini dijual dengan harga 1,5 juta pound, ujar Howayek. Dia juga menambahkan bahwa harga timun dan tomat juga meningkat pesat.
"Kondisi musim dingin semakin mempersulit petani untuk memanen, dan Lebanon semakin bergantung pada impor dari Suriah dan Yordania, yang menawarkan harga yang lebih rendah dan bersaing dengan produksi lokal," Howayek menjelaskan.

Konflik Hizbullah-Israel juga berdampak besar terhadap ekonomi Lebanon, yang mengubah perilaku konsumen. Adnan Rammal dari Dewan Ekonomi dan Sosial Lebanon mengatakan bahwa pengeluaran menurun drastis, terutama di daerah-daerah yang terdampak konflik seperti Lebanon selatan dan Lembah Bekaa.
"Orang-orang yang melarikan diri dari perang harus menghabiskan tabungan mereka untuk membayar sewa tempat tinggal alih-alih membeli makanan atau membayar biaya pendidikan anak-anak mereka," kata Rammal.
"Bahkan sekarang, ketakutan akan terjadinya perang lagi mendorong banyak orang untuk membatasi pengeluaran mereka untuk hal-hal penting saja," kata Rammal menambahkan.
Pakar keuangan Mahassen Moursel memperkirakan bahwa harga makanan naik 8-15 persen sejak konflik Hizbullah-Israel, dan terus meningkat selama bulan Ramadan.
"Harga selalu naik selama Ramadan karena permintaan yang lebih tinggi, tetapi tahun ini, kurangnya kontrol harga dari pemerintah dan keserakahan pedagang memperburuk situasi," kata Moursel, seraya mengatakan bahwa harga makanan melonjak 65 kali lipat sejak 2018.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2025