Jakarta (ANTARA) - Ketua Program Studi Psikologi Terapan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Rose Mini Agus Salim mengatakan bahwa strategi mengasuh cucu yang tepat mesti melalui kesepakatan antara kakek/nenek dengan orang tua anak.

"Perlu diingat kalau tanggung jawab kakek/nenek itu berbeda dengan orang tua, kadang-kadang orang tua atau kakek/nenek melebihi tanggung jawab anaknya (orang tua). Itu tidak boleh, enggak boleh melanggar, harus ada kesepakatan antara kakek/nenek dengan orang tua," kata Rose dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, di Indonesia, persentase keluarga yang terdiri dari tiga generasi (ayah/bunda, lanjut usia atau kakek/nenek, dan cucu-cucunya) tinggal di dalam satu rumah yakni 34,68 persen, kemudian lansia yang tinggal bersama keluarga inti sebesar 33,66 persen, bersama pasangan 22,07 persen, tinggal sendiri 7,10 persen, dan lainnya 2,5 persen.

Dengan persentase paling tinggi di mana tiga generasi keluarga tinggal di dalam satu rumah tersebut, Rose mengingatkan bahwa akan ada konflik yang terjadi apabila tidak ada kesepakatan antara orang tua dengan kakek/nenek dalam hal pengasuhan anak.

Baca juga: Kakek-nenek yang mengasuh cucu lebih sehat

Baca juga: DP3AP2KB Natuna: Seluruh masyarakat wajib terlibat dalam mengasuh anak


"Orang tua tidak boleh menitipkan anaknya 100 persen ke kakek/nenek, sedangkan kakek/nenek juga enggak boleh semena-mena memberikan aturan tertentu kepada cucunya," ucapnya.

Koordinator program Magister Pendidikan Anak Usia Dini UI ini juga menyampaikan perbandingan antara zaman dulu dengan sekarang, di mana pada zaman dulu, pengasuhan lebih minim referensi, berdasarkan naluri, dan tidak berdasarkan penelitian.

"Oleh karena itu sering kita dengar ucapan seperti 'kalau zaman mama dulu, mama diajarkan begini,' modelnya seperti itu, lebih santai karena tidak paham perlu stimulasi atau apa. Anak lebih banyak dibiarkan bermain di luar daripada main gawai, tidak terlalu banyak khawatir," paparnya.

Terbatasnya alat komunikasi karena belum masifnya penggunaan gawai tersebut, membuat komunikasi antara nenek/kakek dengan cucunya lebih banyak dilakukan lewat telepon, dan hadir secara langsung.

"Zaman sekarang berbeda lagi, orang tua atau bahkan kakek/neneknya bisa masuk ke Youtube, Google, bagaimana menenangkan anak yang tantrum, dan terkadang mereka lupa kalau baca di sana belum tentu cocok sama kita, itu yang bahaya," kata dia.

Ia mengutarakan bahwa di zaman sekarang, orang tua atau kakek/nenek cenderung merasa khawatir dengan stimulasi anak karena sudah mendapatkan
pemahaman dari berbagai sumber seperti webinar, internet, dan lain sebagainya, sehingga jadi lebih sering berkata "awas", "jangan", atau "hati-hati".

Ia juga menyampaikan bahwa saat ini anak cenderung lebih banyak terpapar gawai.

"Anak generasi alfa sekarang banyak terpapar gawai. Awalnya, orang tua merasa nyaman, karena anak enggak mengganggu orang tua, tetapi begitu ada penelitian, orang tua baru bingung memberhentikannya, ini perlu didiskusikan juga antara orang tua dengan kakek/nenek," ungkapnya.

Untuk itu, Rose menekankan baik dari pihak orang tua maupun kakek/nenek harus memahami kondisi diri dan mampu mengelola emosi masing-masing.

"Lansia (kakek/nenek) tidak bertanggung jawab langsung pada pertumbuhan anak atau cucunya, karena orang tua yang harus lebih berperan," tuturnya.*

Baca juga: Psikolog ungkap cara orang tua memberitahukan penyakit kepada anak

Baca juga: Dokter: Ayah punya peran dalam pengasuhan anak

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024