Gaza (ANTARA) - Setiap hari, Emad Adul Rahman (45), seorang ayah empat anak di Rafah, Gaza selatan, harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer hanya untuk membuang sampah di rumahnya..

Sejak pecahnya konflik antara Israel dan Hamas pada Oktober lalu, layanan publik di kota paling selatan di wilayah kantong Palestina itu pun terhenti.

"Selama berbulan-bulan kami tidak mendapatkan layanan apa pun ... sampah dan limbah menumpuk di sebagian besar area kami," tutur Rahman.

Datangnya musim panas semakin memperburuk masalah ini, karena peningkatan suhu akan memperparah bau timbunan sampah, membuat kota padat penduduk itu, yang menampung lebih dari 1,5 juta pengungsi, semakin tidak layak huni.
 
  Sampah terlihat di kamp sementara di kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, 17 April 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)


 Jalanan kota yang dipenuhi puing-puing menjadi sarang penyakit. Anak-anak, yang tidak menyadari bahaya, bermain di antara sampah, sementara bau busuk yang merajalela menembus hingga kamp-kamp pengungsi.

Untuk mengatasinya, penduduk pun membakar sampah, yang semakin menambah polusi udara.  

Kondisi ini bahkan lebih parah bagi Samah al-Hajj (39), warga Rafah yang baru saja diamputasi. Ibu tiga anak itu, yang kehilangan suami dan dua anaknya dalam serangan udara Israel, kini menghadapi tantangan tambahan untuk mengelola sampah dengan disabilitasnya. "Saya tidak bisa membuang sampah dengan mudah," ujar al-Hajj, yang kondisinya kian parah dengan sampah yang mengepung rumahnya.


"Anak-anak saya terjangkit berbagai penyakit ... semua dokter mengatakan bahwa saya harus tinggal jauh dari sampah, tetapi saya tidak punya tempat tinggal lain," keluh Rahman.
 
Air limbah terlihat di kamp sementara di kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, 17 April 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
  

Kondisi ini bahkan lebih parah bagi Samah al-Hajj (39), warga Rafah yang baru saja diamputasi. Ibu tiga anak itu, yang kehilangan suami dan dua anaknya dalam serangan udara Israel, kini menghadapi tantangan tambahan untuk mengelola sampah dengan disabilitasnya.

"Saya tidak bisa membuang sampah dengan mudah," ujar al-Hajj, yang kondisinya kian parah dengan sampah yang mengepung rumahnya.  

Pembatasan yang dilakukan Israel memaksa pemerintah kota menghentikan pengelolaan limbah, sehingga wilayah tersebut berada di ambang bencana lingkungan dan kesehatan. Salama Maarouf, kepala kantor media pemerintah yang dikelola Hamas, memperingatkan bencana yang mengancam.

"Saya selamat dari pengeboman Israel, tetapi saya takut mati karena penyakit yang ditimbulkan oleh sampah-sampah ini.... Kami mati perlahan di Gaza, tanpa disadari," ujarnya dengan suara yang sarat keputusasaan.

Penderitaan Rahman dan al-Hajj hanyalah sekilas gambaran dari krisis yang lebih besar yang melanda Gaza, dengan timbunan sampah yang menjadi bagian dari lanskap seperti halnya puing-puing akibat konflik.
 
Air limbah terlihat di kamp sementara di kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, 17 April 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
 


Pembatasan yang dilakukan Israel memaksa pemerintah kota menghentikan pengelolaan limbah, sehingga wilayah tersebut berada di ambang bencana lingkungan dan kesehatan. Salama Maarouf, kepala kantor media pemerintah yang dikelola Hamas, memperingatkan bencana yang mengancam

"Jalur Gaza dihadapkan pada masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya," ungkap Maarouf memperingatkan.

Limbah tersebut "menjadi lingkungan yang subur bagi perkembangbiakan lalat, nyamuk, serangga, dan reptil yang berbahaya," ujarnya, seraya mendesak dunia untuk memperhatikan keadaan darurat yang terjadi di Gaza.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024