Rasa gerah dan semua ketidaknyamanan itu hilang sementara waktu, saat jamaah haji tenggelam dalam untaian doa yang dipanjatkan.
Jakarta (ANTARA) - Waktu menunjukkan pukul 11.00 waktu setempat, Matahari begitu terik bersinar.

Sinarnya membakar kulit dan membuatnya memerah. Udara pun seakan-akan diam tidak bergerak.

Panas siang itu benar-benar menyengat bahkan mencapai suhu 47 – 48 derajat Celcius.

Bersenjatakan payung penangkal sengatan Matahari dan berbekal sebotol air minum, pewarta Antara berjalan kaki sekitar 5 kilometer untuk mengunjungi Jabal Rahmah.

Di sepanjang jalan, tampak tenda-tenda berwarna putih terpasang secara rapi di hamparan pasir yang luas itu.

Tenda-tenda itu dipenuhi jamaah haji yang bersiap untuk melakukan ritual wukuf.

Di sela-sela pohon di Padang Arafah, terdapat juga jamaah haji yang hanya menggelar karpet dengan suasana terbuka beratapkan langit.

Selama perjalanan menuju bukit berbatu itu, sayup-sayup terdengar kalimat talbiah. Di bawah sengatan sinar Matahari, jamaah terus mengumandangkan "Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal-hamda wan-ni’mata laka wal-mulk, la syarika lak".

Di sudut-sudut jalan, beberapa peserta haji beristirahat sejenak melepas lelah sembari meminum air mineral botol sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke bukit batu itu yang terletak di sebelah selatan Padang Arafah.

Tampak sejumlah peserta haji mengguyur air langsung ke kepala untuk meredakan rasa panas di sela-sela istirahat mereka.

Waktu sudah menjelang Zuhur saat kaki menapaki pinggiran bukit berbatu yang memiliki ketinggian sekitar 70 meter itu.

Peluh keringat menetes membasahi kain putih saat menapaki bebatuan di pinggiran bukit berteman Mentari yang perlahan bergulir mencapai posisi tengah hari.

Arafah di siang bolong itu tampak tidak ramah bagi jamaah haji yang sedang menyusuri anak tangga maupun bebatuan untuk bisa mencapai puncak Jabal Rahmah.

Di puncak Jabal Rahmah atau Bukit Kasih Sayang itu terdapat tugu putih dari beton persegi panjang dengan lebar 1,8 meter dan tinggi 8 meter.

Tugu putih itu dipercaya sebagai titik bertemunya Adam dan Hawa setelah terpisah selama ratusan tahun setelah dikeluarkan dari surga.

Monumen di puncak Bukit Kasih Sayang itu mengabadikan romantika kisah cinta Adam dan Hawa.

Sayangnya, tugu putih itu terdapat banyak sekali coretan nama beserta pasangannya. Terlihat coretan tersebut menggunakan huruf Latin maupun huruf Arab. Terdapat juga nama-nama khas Indonesia terukir di tugu yang tak lagi putih itu.

Coretan nama juga dapat ditemukan di sepanjang batu-batu pada bukit Jabal Rahmah.

Di lereng hingga puncak Bukit Kasih Sayang itu, ribuan haji dengan pakaian ihram putih-putih memadati Jabal Rahmah untuk melakukan ritual wukuf yang dimulai dari Zuhur sampai Magrib.

Bongkahan batu tak luput menjadi tempat untuk berdoa dengan khusyuk.

Tenggelam dalam kekhusyukan, bait demi bait doa dipanjatkan jamaah haji kepada Sang Pencipta.

Tak sedikit dari mereka yang berlinang air mata saat memanjatkan doa sambil mengarahkan mata serta menengadahkan tangan ke langit.

Mereka tak peduli dengan hawa panas yang menyeruak di sekitar tubuh. Mereka larut dalam bacaan doa dan zikir yang terus dirapalkan.

Serpihan pinta terus dilayangkan di bentangan bukit pengharapan yang menjadi saksi bisu pertemuan mengharukan Adam dan Hawa itu.

Semilir angin yang membelah punggung bukit perlahan menghampiri peserta haji kala hawa panas berkumpul di sekitar diri mereka.

Rasa gerah dan semua ketidaknyamanan itu hilang sementara waktu, saat jamaah haji tenggelam dalam untaian doa yang dipanjatkan.

Lantunan doa dan zikir terus dilayangkan dalam keheningan jiwa, suatu cara untuk dapat berkomunikasi dengan Tuhan.

Keheningan dan kekhusyukan seakan-akan membawa kesejukan di tengah cuaca yang teramat panas.

Banyak yang percaya, berdoa agar dilancarkan jodoh sangat tepat dibacakan di Bukit Kasih Sayang itu.

Bukit Kasih Sayang itu menjadi simbol cinta dan kasih sayang antarsepasang pria dan wanita yang saling mencintai.

Ada juga yang berdoa agar dikekalkan jodoh bersama pasangannya, sebagaimana cinta antara Adam dan Hawa.

Salah seorang haji asal Yordania Abdul Kareem (40) yang berdoa di lereng Jabal Rahmah mengatakan bahwa dirinya memanjatkan doa untuk segera mendapatkan jodoh.

Ia juga berdoa untuk kerabatnya agar dimudahkan dalam urusan jodoh.

Ia pun secara khusus berdoa agar mendapatkan wanita salehah yaitu wanita yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada.

Baginya, cuaca panas yang menyelimuti Jabal Rahmah tak menyurutkan semangatnya untuk bermunajat di Bukit Cinta itu.

Ia sama sekali tidak tertarik menuliskan nama di tugu atau batu-batu di bukit agar doa dapat dikabulkan.

Ia meyakini bahwa Allah Maha Tahu apa yang diinginkan hamba-Nya.

Bagi Kareem, cukup bermunajat, jangan merusak keindahan tempat bersejarah ini.

Berteman suara lantang jamaah haji yang mengumandangkan kalimat talbiah, sepasang kaki ini secara perlahan-lahan menuruni lereng bukit berbatu itu hingga akhirnya sampai di pelataran bawah bukit Jabal Rahmah.

Di pelataran luas itu disemprotkan air melalui tiang-tiang yang terpancang untuk menurunkan suhu udara yang panas.

Di bawah teriknya sinar Matahari serta cuaca yang amat panas, sepasang kaki berlumuran pasir meninggalkan jejaknya di Bukit Kasih Sayang itu.

Bukit yang juga menjadi tempat bersejarah Rasulullah Saw. menerima wahyu terakhir Surat Al-Maidah ayat 3 saat menunaikan Haji Wada’ (haji terakhir).

Sepasang jejak kaki ini meninggalkan sebuah kenangan dan menjadi saksi akan pengalaman bermunajat di bawah sengatan sinar Matahari.

Jabal Rahmah yang populer disebut Bukit Cinta atau Kasih Sayang merupakan tempat-tempat yang dimuliakan untuk melakukan haji.

Jabal Rahmah terletak di kawasan Padang Arafah yang menjadi pusat penentu utama sahnya haji seseorang. Di sanalah salah satu tempat yang terbaik untuk memanjatkan doa.

Tak ada salahnya berdoa untuk meminta jodoh atau pasangan, bahkan meminta keharmonisan rumah tangga agar tetap rukun.

Bermunajatlah tentang cinta di Bukit Cinta, tempat bertemunya Adam dan Hawa di Bumi. 




 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023