Pak Rudi yang memiliki nama legkap Sigit Rudiatwoko merupakan guru di Sekolah Indonesia Johor Bahru (SIJB). Sebelumnya, ia sempat menjadi guru dari murid-murid Community Learning Center (CLC) di tengah kebun sawit di Sabah, dan baru pada Desember 2022 lalu dirinya mendapat tugas mengajar anak-anak pekerja migran Indonesia yang ada di Johor Bahru.
Kebetulan, pada rangkaian pesta demokrasi kali ini, ia juga menjadi petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) untuk wilayah kerja Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Johor Bahru. Sore itu dirinya bersama ANTARA mengikuti pantarlih lainnya melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih dengan mendatangi satu lokasi di mana pekerja migran Indonesia bekerja, sebelum menuju ke lokasi buka bersama.
Setelah memutar balik di Jalan Pandan dan mengarah ke pusat kota Johor Bahru, ia membelokkan mobil ke Jalan Imam di daerah Kampung Melayu Pandan. Itu merupakan wilayah perkampungan lama, berusia lebih dari 80 tahun, yang saat terbentuk mudah dijumpai pohon pandan di sana sehingga namanya mengikuti kondisi itu.
“Rasanya seperti di Indonesia ya,” kata guru asal Yogyakarta itu tiba-tiba di sela-sela perbincangannya sambil mengendalikan mobil.
Ya, pemandangan yang dilihatnya saat itu memang mengingatkan dengan perkampungan padat pada umumnya di Indonesia. Rasanya tidak begitu asing, ada warung sayur hingga warung makan kecil di antara rumah-rumah penduduk yang tidak berjarak dan beberapa tanpa pagar.
Warga terlihat ramai di beberapa warung makan, menanti waktu berbuka puasa. Ada juga yang sedang menunggu makan berbukanya siap dibawa pulang.
Semakin ke tengah semakin padat, mobil parkir di sisi kanan dan kiri jalan yang ukurannya juga tidak terlampau besar, sehingga ketika berpapasan sang sopir harus mau bertenggang rasa. Kendaraan jenis multi purpose vehicle yang Pak Rudi kendalikan terasa seperti bis di sana, sehingga perlu ekstra hati-hati berkendara.
Sekitar pukul 19.20 waktu setempat mobil tiba di lokasi dan Bu Umi, tuan rumah dari buka puasa kali ini, menyambut di mulut jalan menuju rumahnya. Dengan ramah ia menyapa tamunya dan langsung mengajak ke rumahnya untuk menyegerakan berbuka puasa.
Bu Umi asli dari Jawa Timur. Sudah puluhan tahun tinggal di Johor, bersama anak-anak dan suaminya yang memegang Identification Card (IC) merah. Seperti para WNI kebanyakan yang sudah tinggal lama di negeri jiran, kalimat-kalimatnya kental dengan logat Melayu, meskipun terkadang terselip pula logat medok Jawa di sana.
Anaknya, Mohamad Shaiful bin Abdullah saat ini duduk di kelas 1A SIJB. Sore menjelang malam itu, dengan mengenakan kaos berwarna putih lengkap memakai kupluk, sudah ikut duduk bersila di pinggir ruang tengah rumahnya bersama beberapa murid lainnya yang juga tinggal di daerah tersebut.
Ruang keluarga itu terasa penuh bukan saja karena kehadiran para murid dan guru-guru SIJB, tetapi juga oleh berbagai jenis sajian yang disusun rapi tanpa celah di tengah ruangan tersebut.
Dari mulai beberapa bakul nasi putih, beberapa piring nasi impit (lontong), beberapa piring sate ayam lengkap dengan beberapa mangkok sambel kecapnya, beberapa mangkok rawon, beberapa piring besar urap, beberapa piring ayam goreng, ditambah lagi beberapa piring dan mangkok buah potong, anggur, bubur kacang hijau, dan beberapa jenis makanan dan minuman lainnya.
Benar-benar sebuah kenikmatan dan berkah bulan suci Ramadhan di perantauan.
Safari Ramadhan guru SIJB
Jika umumnya buka puasa bersama diadakan di sekolah, SIJB memilih cara berbeda, tentu dengan alasannya sendiri membuat guru-guru bersafari Ramadhan ke beberapa rumah muridnya.
Kegiatan tersebut, menurut dia, baru pertama diadakan di bulan Ramadhan tahun ini. Karena sebelumnya kegiatan buka bersama diadakan bersama-sama di SIJB yang berada di lingkungan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru, kata Kepala Sekolah Indonesia Johor Bahru (SIJB) Rizali Noor.
Dari pada membuat kegiatan iftar di sekolah yang mengharapkan anak-anak dapat datang sore hari, menurut dia, itu justru membutuhkan biaya lebih besar buat mereka. Selain juga kasihan jika anak-anak harus pulang larut malam.
Polanya dibalik, lebih baik guru-gurunya datang ke rumah siswa, turut memberikan sumbangan atau bantuan.
"Jadi makan-makannya dari kita, SIJB yang membawa, jadi tidak mau merepotkan orang tua juga. Tujuannya bersilaturahmi saja,” kata Rizali, yang juga merupakan Pelaksana Fungsi Sosial dan Budaya KJRI Johor Bahru.
Safari Ramadhan tahun ini menjadi saat perkenalan lebih lanjut antara guru, murid serta orang tua, mereka akan merasa bisa lebih dekat. Selain itu, ia mengatakan sekolah juga menjadi tahu kondisi murid di rumah seperti apa.
Ini tahun pertama diadakan seperti ini, mungkin sebelumnya ada acara kegiatan di sekolah, tapi di sini biaya transportasi,seperti Grab, mahal dan misal hanya satu anak saja sewa satu Grab untuk pergi ke sekolah itu mahal. Kalau orang tua sewa Grab malam-malam jauh lebih mahal lagi. Jadi dari pada membebani siswa, akhirnya konsepnya dibalik.
Para guru akan memilih mendatangi murid-murid yang perlu mendapat bantuan, karena kegiatan yang dilakukan tidak sekadar buka puasa bersama, tapi ada juga bantuan yang diberikan kepada orang tua murid.
Kriteria lain, yakni apakah di sekitar lokasi rumah murid tersebut juga terdapat rumah murid-murid SIJB lainnya sekitar 10 hingga 15 anak, kata Rizali. Dengan demikian akan menjadi lebih efektif untuk dapat menjangkau murid.
Kalaupun sedikit jauh, murid-murid itu jemput dulu sekalian berangkat bareng dengan guru-guru. Dengan demikian, orang tua murid juga bisa melihat upaya SIJB untuk mendekatkan mereka semua.
Safari Ramadhan para guru di SIJB berjalan selama dua minggu, mengunjungi enam rumah. Setiap minggu ada tiga rumah yang mereka datangi.
Mengupayakan pendidikan
Rizali sempat mengikuti beberapa kali Safari Ramadhan guru-guru SIJB tersebut, sekalian menjelaskan kegiatan-kegiatan sekolah, bersilaturahmi, serta memperbarui kegiatan-kegiatan sekolah, khususnya untuk yang murid SMP, karena memang para guru sedang mengadvokasi mereka agar mau melanjutkan sekolah di Tanah Air.
Kebetulan, SIJB sudah ada kerja sama dengan Muhammadiyah Jawa Timur. Mereka akan memberikan kursi kepada semua lulusan sekolah yang berada di KJRI Johor Bahru tersebut, berupa beasiswa dan asrama.
Bisa di pesantren, bisa di SMK Muhammadiyah. Nanti didekatkan dengan asrama mereka.
Untuk itu, SIJB meminta kepedulian para orang tua murid. Kadang ada di antara mereka yang masih enggan melepas anaknya kembali ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikan.
Karena itulah, guru-guru berkunjung ke rumah murid sekaligus melakukan persuasif, memberikan kesadaran pentingnya pendidikan dan jangan sampai anak-anak mereka hanya bersekolah sampai SMP saja.
Karena Muhammadiyah sangat baik memberikan kursi, sehingga sudah pasti bisa diterima. Untuk tahun ini mendapat 23 kursi. Ini kerja sama baru mulai dan harapannya bisa memberikan kepastian sekolah untuk anak-anak SIJB.
Bahkan, Muhammadiyah Jawa Timur berkomitmen untuk memberikan kesempatan anak-anak pekerja migran Indonesia mendapatkan beasiswa untuk ke universitas.
Tahun lalu lulusan SIJB belum tahu mau melanjutkan ke mana. Ada beasiswa tapi harus tes dan tidak banyak jumlahnya. Dengan kerja sama ini paling tidak sudah pasti mendapat kursi dan beasiswa untuk siswa-siswa, sehingga kelanjutan sekolah sudah jelas.
Orang tua, hanya tinggal mengirimkan uang saku dan tiket untuk pulang ke Indonesia saja. Persoalannya justru kadang datang dari orang tuanya, ada yang masih enggan, terlebih mereka yang berasal dari Sumatera yang menganggap lokasinya terlalu jauh dari kampung halaman mereka.
Tidak putus jalan memastikan anak-anak pekerja migran Indonesia yang tidak memiliki akses pendidikan di Malaysia tetap memiliki harapan, memperoleh ilmu, memupuk mimpi.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023