Ibu itu berkata, "Pak Ustadz, saya setiap kali memasuki bulan Ramadhan selalu bersedih. Karena saya tidak bisa menyambut Ramadhan sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya yang riang gembira menyambut Ramadhan".
"Bahkan beberapa tetangga saya, teman-teman kantor saya juga sudah menyiapkan diri menyambut bulan Ramadhan jauh sebelum bulan suci itu. Beberapa di antaranya sudah berpuasa sunnah sejak bulan Rajab, malah ada yang lanjut sampai bulan Sya'ban".
"Saya tidak bisa melakukan itu semua, Pak Ustadz. Saya merasa ingin pulang kampung. Saya ingin menyiapkan semuanya, hadiah-hadiah terbaik yang ingin saya berikan untuk orang-orang yang saya cintai di kampung. Ramadhan mengantarkan saya pulang kepada 'Tuhan', kampung halaman saya. Saya tidak punya amal, saya hanya membawa dosa-dosa".
Sang Ustadz menyarankan, "Ibu kalau masuk Bulan Ramadhan merasa tidak memiliki hadiah-hadiah terbaik untuk diserahkan kepada Tuhan, ulangi kesempatan bagi ibu untuk mengumpulkan pahala-pahala untuk disepersembahkan kepada Tuhan. Oleh karena itu, kalau kita memasuki bulan Ramadhan, kalau kita memiliki banyak dosa-dosa, alpa, lalai, maka berkah Ramadhan bisa kita cari untuk mendapat ampunan dari Allah SWT".
Sang Ibu menjawab bahwa justru itu yang membuat dia semakin sedih. Karena apa, di saat semua teman-temannya bisa mendaftar amalan-amalan apa saja yang bisa dilakukan saat Ramadhan, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Beberapa temannya mengatakan bahwa dia bisa menyelesaikan sekian juz Al Quran dalam beberapa hari, iktikaf berlama-lama di masjid atau malah kalau lagi datang malam "lailatul qadar" beberapa temannya melaksanakan umrah ke Tanah Suci. Tetapi dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Sang guru agama bertanya, "Memang pekerjaan ibu apa?". Si Ibu menjawab, "Pak Ustadz maaf, saya ini tumbuh besar di tengah keluarga berkecukupan. Di rumah banyak pembantu, ke kantor banyak karyawan, ke mana-mana saya selalu dilayani. Saya ingin di Bulan Ramadhan ini membalikkan posisi saya".
"Saya ingin melayani orang-orang yang selama ini melayani saya. maka saya belanja sendiri, masak sendiri. Saya bungkus nasi sendiri, saya antarkan menjelang Maghrib kepada orang-orang yang selama ini dengan suka hati melayani saya. Kegiatan saya ini baru selesai menjelang Isya dan ketika sampai di rumah sudah kecapaian".
"Tidak begitu banyak rakaat shalat tarawih yang bisa saya lakukan, tidak begitu banyak surat-surat dalam Al Quran yang bisa saya baca. Malah begitu banyak ketika memasuki sepuluh hari bulan Ramadhan, saya tidak hanya menyiapkan takjil buat orang-orang yang saya cintai, tetapi juga menyiapkan makan sahur bagi mereka yang beriktikaf".
"Maka ketika Idul Fitri tiba, mereka bercerita tentang pahala-pahala yang berhasil mereka kumpulkan sepanjang bulan Ramadhan, mereka mampu menangkap anugerah bulan Ramadhan, saya tidak bisa melakukan apa-apa".
Dalam kitab Mukaasyafatul Qulub, Imam Al Gazhali bercerita tentang Nabi Musa yang bermunajat kepada Allah SWT. Allah bertanya kepada Nabi Musa, "Banyak benar ibadahmu, yang mana untuk-Ku?". Nabi Musa kaget, karena semua ibadah beliau selama ini diniatkan hanya untuk Allah, puasa hanya untuk Allah, shalat hanya untuk Allah, tetapi Allah mengatakan itu semua untuk dirinya.
Lalu Musa memohon kepada Allah SWT untuk ditunjukkan ibadah apa yang kira-kira bisa dipersembahkan kepada Allah. Allah SWT menjawab, "Berhikmahlah kamu kepada orang-orang yang tidak mampu di sekitarmu. Jadilah kamu teman sejati bagi orang-orang yang tersakiti". Itulah sejatinya makna dari ibadah kepada Allah.
Merujuk pada cerita pengalaman Nabi Musa ini, bahwa ternyata setiap ibadah kita itu ujung-ujungnya adalah pengabdian. Setiap jiwa dalam ibadah kita itu ujung-ujungnya adalah pengabdian kepada sesama, maka sungguh beruntung orang-orang yang menjadikan Ramadhan ini sebagai kesempatan baginya untuk mengabdi kepada sesama. Kalau ada baiknya, itu milik Allah. Wallaahu muwafiq ilaa aqwaamithoriq.
*) Ustadz Edi KR adalah seorang dai (penceramah)
Pewarta: Ustadz Edi KR *)
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020