Makkah (ANTARA News) - "Mungkin ada tiga atau empat kali saya mendampingi anggota jamaah yang sedang menghadapi sakratul maut. Membimbingnya mengucapkan doa...," kata Ani malam itu.

Bersama rekannya Enih, yang selalu bekerja dalam satu shift, ia bergegas menghabiskan makan malamnya.

Sambil sesekali menyuap nasi berlauk sop kambing malam itu, dengan semangat ia menceritakan pengalamannya.

"Semua jamaah yang wafat di hadapan saya semuanya pergi dengan tenang, tidak ada yang susah," kata mahasiswi jurusan tafsir International University of Africa di Sudan itu.

Ia mengaku sama sekali tidak merasa takut, khawatir ataupun tegang saat mendampingi anggota jamaah yang menghadapi sakratul maut.

"Padahal sewaktu orangtua meninggal pun saya tidak sedekat itu," kata Enih menimpali.

Obrolan berakhir saat keduanya selesai menghabiskan makan malam. Mereka segera pamit dan beranjak meninggalkan ruang makan.

Dua orang tenaga musiman (temus) yang tergabung dalam Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) itu akan segera menjalankan tugas.

Mereka harus segera berangkat ke Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Mekkah, tempat tugas mereka sehari-hari.

Tidak tampak ada raut lelah di wajah mereka, tetap semangat meskipun sudah bekerja hampir 60 hari nyaris tanpa libur. Dalam sekali shift mereka bekerja selama 12 jam bahkan bisa lebih saat pergantian shift.

Meski bukan dokter bukan pula perawat, tugas mereka tidak kalah penting. Mereka adalah dua dari tujuh Pembimbing Ibadah Jemaah Uzur yang semuanya perempuan.

Sebagai Pembimbing Ibadah Jamaah Uzur (PIJU), tugas mereka mendampingi jemaah yang sedang sakit agar tetap menjalankan ibadahnya.

"Uzur di sini maksudnya berhalangan karena sakit," kata Ani Kurniawati (32) temus yang sedang menuntut ilmu di Khartoum, Sudan.

Pada saat puncak ibadah haji, tugas mereka juga memastikan bahwa prosesi ibadah haji mereka sudah lengkap.

Bukan itu saja, mereka juga harus mampu memberi motivasi kepada jemaah yang sakit agar tetap berpikir positif dan semangat untuk sembuh.

"Tingkah mereka bermacam-macam. Ada yang awalnya tidak mau shalat, ada yang menolak didekati, tetapi lama-lama malah betah," kata Enih Suhaenih (33) mengisahkan pengalamannya menghadapi jemaah sakit.

Sebagai pembimbing ibadah, Ani lebih banyak menangani jamaah yang dirawat di ruang ICU. Karenanya ia sering menghadapi jemaah yang wafat.

"Bagi mereka yang masih bisa shalat sendiri, kami hanya mengingatkan lalu membiarkan shalat sendiri. Tetapi bagi yang tidak bisa melakukannya sama sekali, kami tayamumkan, lalu dibacakan shalat mulai dari Allahu Akbar sampai salam," ujar Ani.

Terkadang, katanya, meski terbaring dan tidak bisa bergerak, jemaah komat kamit mulutnya mengikuti bacaan shalat yang ia ucapkan.

Lain lagi dengan pengalaman Enih, saking seringnya ia mendoakan jemaah yang sakit, salah seorang pasiennya mendoakannya balik. "Semoga Mbak jadi orang sukses, bermanfaat bagi orang banyak," begitu Enih menirukan doa yang diucapkan jemaah untuknya.

"Itu menjadi energi positif bagi saya," kata warga Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Mesir itu.

Dengan hati

Apa yang membuat keduanya begitu kuat menjalankan tugas mereka meski sebelumnya belum pernah melakukannya?

"Kami bekerja dengan hati," kata Enih.

"Melayani jemaah haji itu suatu kemuliaan, amanah, dan tanggung jawab. Itu landasan kami dalam bekerja. Selain mulia juga mengandung amanah dan tanggung jawab, sehingga harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh," tambah Ani.

Ia menganggap pekerjaannya itu sebagai ibadah. Sehingga ia menjalankannya tanpa pernah mengeluh.

Enih mengakui, banyak suka duka yang mereka alami selama bekerja sebagai Pembimbing Ibadah Jamaah Uzur (PIJU).

Sukanya antara lain ketika berhasil membujuk anggota jamaah yang semula tidak mau shalat menjadi mau shalat. Bahkan banyak jemaah yang menantikan kedatangan mereka saat mereka tidak tampak, berharap segera mendapat pendampingan shalat dan doa.

"Banyak pula yang pada akhirnya ngomong lebih dulu, saya sudah shalat tetapi belum berdoa agar dibimbing untuk berdoa," katanya.

Dukanya, tambah Enih, adalah saat tidak mampu berkomunikasi karena kendala bahasa. Ternyata banyak jemaah yang tidak mampu berbahasa Indonesia.

Kalau bahasa Jawa atau Sunda saja mereka masih bisa mengatasi, tetapi jemaah haji datang dari seluruh pelosok Nusantara, dari Sumatera sampai Papua dengan bahasa daerah yang berbeda-beda.

Kalau sudah begitu, bahasa isyarat lah yang mereka gunakan untuk berkomunikasi.

Biasanya Ani dan Enih, serta lima PIJU lainnya, bekerja pada saat waktu shalat tiba.

Setelah menunaikan kewajiban shalatnya sendiri, mereka mulai berkeliling ke ruang-ruang perawatan. Mulai dari ruang perawatan jemaah pria, wanita, ruang ICU dan ruang perawatan pasien psikiatri.

Satu-persatu mereka semua didampingi untuk melaksanakan shalat, lalu berdoa.

"Kadang-kadang, saat pasiennya banyak, pernah sampai 60 jemaah, kami terpaksa menjama shalatnya karena belum sampai ke jemaah terakhir sudah tiba waktu shalat berikutnya," papar Ani sambil tersenyum.

Terbayang betapa sibuknya mereka pada saat BPHI banyak pasien.

Meski namanya pembimbing ibadah, pada kenyataannya, yang mereka kerjaan tidak hanya membimbing shalat dan berdoa, tetapi juga memberi motivasi, semangat, menghibur.

"Kami harus pintar melucu, pandai bercerita. Kata-kata positif harus selalu diberikan. Sering dikangenin pasien karena mereka butuh motivasi, cerita, dan hiburan," kata Ani, perempuan kelahiran Ciamis 10 Januari 1981 itu.

Bukan hanya pasien yang mereka beri motivasi. "Bagi pasien yang parah, yang harapan sembuhnya kecil, keluarganya kami beri pengertian, disiapkan mentalnya," kata Enih yang lahir di Serang 7 Agustus 1980.

Sekarang tugas mereka akan segera berakhir. BPHI Makkah akan ditutup pada 9 November karena tidak ada lagi jamaah haji di Mekkah, dan mereka akan kembali ke keluarga masing-masing.

Namun apa yang mereka kerjakan selama 60 hari sebagai Pembimbing Ibadah Jamaah Uzur akan selalu membekas, tidak hanya di hati mereka sendiri, tetapi juga di hati jamaah yang pernah mereka rawat.
(F005/Z002)

Pewarta: Fitri Supratiwi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013