Jakarta (ANTARA News) - Melalui tauhid seluruh umat manusia dalam posisi sederajat, tidak ada diskriminasi karena perbedaan asal usul, warna kulit, suku dan budaya semuanya menyatu di bawah kalimah tauhid.

Kelebihan derajat seseorang ditentukan oleh kualitas keimanan dan ketaqwaan. Karena itu globalisasi agama dimulai dari ajaran tauhid.

Umat manusia bertemu dalam tiga prinsip kehidupan, yaitu keadilan, persamaan dan persaudaraan. Ciri seorang muslim adalah orang yang selalu memperbanyak perasaan bersangka baik (husn zan) kepada orang lain.

Bersangka baik merupakan tanda orang yang sehat. Sebaliknya orang yang selalu membiasakan melihat orang lain dengan persangkaan buruk (suuz zan) adalah tanda orang yang sakit. Pembiasaan bersangka baik adalah berakar dari kalimah tauhid yang menyatakan bahwa hanya firman Allah sebagai kebenaran mutlak sedang hasil pikiran manusia tidak lebih dari kebenaran yang relatif.

Atas dasar itulah, maka dengan bertauhid, semua manusia dijauhkan dari sikap sombong, angkuh dan mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, orang yang tidak bertauhid ditandai dengan sikap mau menang sendiri dan selalu merasa memonopoli kebenaran.

Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis berpendapat, dengan membiasakan diri berprasangka baik maka akan semakin jauh dari perasaan dendam kepada siapa pun dan manusia semakin mudah memaafkan keselahan orang lain.

Umat Islam bertemu dalam tauhid. Sekalipun terdapat perbedaan di antara mereka, baik suku bangsa, budaya termasuk aliran organisasi maupun politik tetapi semua diikat oleh tali persaudaraan.

Kalaupun ada perbedaan maka hal itu tidak lebih dari sekedar diferensiasi atau perbedaan fungsi namun tujuan mereka adalah satu: Ya Allah Engkaulah yang aku maksud dan keridaanMu yang selalu aku cari-cari.

Ibadah Haji

Pada 14 Oktober 2013 atau 9 Dzulhijjah 1434 H, umat Muslim dari Indonesia sekitar 168.800 orang, yang terdiri atas kurang lebih 155.200 jamaah haji reguler dan 13.600 jamaah haji khusus berada di Tanah Suci Arab Saudi bersama umat Muslim lainnya dari seluruh dunia untuk melaksanakan wukuf di Padang Arafah, selanjutnya bergerak ke Muzdalifah dan Mina untuk melaksanakan jumroh. Ibadah wukuf merupakan perwujudan memperdalam pemahaman dan penghayatan umat terhadap Islam.

Seluruh jamaah haji berada di padang yang panas terik, hanya berpakaian ihram melakukan renungan tentang keagungan Allah yang diungkapkan dalam bahasa yang indah: "labbaika Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka, inna al hamda wa al nimata laka wa al mulk, la syarika laka: aku penuhi panggilanMu Ya Allah, aku penuhi panggilan yang tidak ada sekutu bagiMu, sesungguhnya segala pujian adalah tertuju bagiMu dan juga kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu."

Gambaran persatuan umat manusia lebih jelas kelihatan lagi ketika berada di dalam pusaran tawaf mengelilingi Ka`bah. Semakin mendekati Ka`bah maka pada saat yang sama hubungan antarmanusia semakin dekat sehingga faktor pembeda baik warna kulit, suku, budaya, pelapisan sosial maupun ciri kebangsaan menjadi relatif Semuanya menyatu di bawah kalimah tauhid.

Menurut guru besar Pemikiran Moderen Dalam Islam Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, Ibadah haji adalah suatu tradisi yang agung yang diperkenalkan Nabi Ibrahim A.S. sebagai upaya peneguhan dan penyegaran kembali komitmen terhadap kalimah tauhid yang menyatukan umat Islam baik selama di Tanah Suci maupun setelah kembali ke tanah air untuk memperoleh haji mabrur.

Dengan berhaji maka selesailah tugas umat Muslim setidak-tidaknya secara formal, pendakian menuju titik kulminasi keislaman. Dengan berhaji, mulai berangkat dari kepribadian yang terdalam kemudian keluar berinteraksi dengan rekan, sahabat bahkan secara pergaulan internasional.

Firman Allah, Dan beri tahukanlah kepada seluruh manusia tentang ibadah haji niscaya mereka akan mendatangimu baik dengan berjalan kaki maupun menaiki kenderaan yang berdatangan dari penjuru alam yang berjauhan (Q.S. Al Hajj [22]: 27)

Wukuf di Arafah dilukiskan sebagai puncak ibadah haji sehingga tidak boleh ditinggalkan. Apa pun halangan yang dihadapi seorang calon haji selama masih memungkinkan dilakukan perjalanan wukuf (safari wukuf). Rasul bersabda: Artinya:

Haji yang mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga.

Pengertian mabrur tidak hanya sekedar sebagai kelulusan dari sisi formalitas sesuai dengan ketentuan syarat, rukun, wajib dan sunat ibadah haji akan tetapi lebih dari itu yaitu sikap kemabruran terpancar pada kepribadian setelah selesai ibadah haji dan kembali ke kampung halaman menggunakan seluruh sisa hidup untuk beribadah.

Ibadah berbeda dari pengertian ritual pada agama-agama kuno, karena ibadah bermakna komprehensif yaitu seluruh aspek kehidupan manusia dapat bernilai ibadah tergantung dari motivasi dalam melakukan perbuatan.

Selain dari iabadah mahdlah seperti sholat, puasa dan sebagainya akan tetapi ibadah ghairu mahdlah jauh lebih banyak karena menyangkut peneguhan sikap untuk berjanji kepada diri sendiri untuk selalu berbuat sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi alam semesta baik di bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum, seni dan apa saja semuanya dapat bernilai ibadah apabila niatnya karena menuntut keridaan Allah SWT.

Mengingat fungsinya ibadah haji tidak lagi sekedar sebagai instrumen budaya sebagaimana yang dipahami oleh sebagian masyarakat awam, tetapi lebih sebagai motor penggerak dinamika dan etos menuju keislaman paripurna. Sekalipun berbagai hambatan dan rintangan dihadapi oleh Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya di dalam melebarkan dakwah akan tetapi sedikitpun tidak mengurangi keteguhan batin (istiqamah) mereka mengajak umat manusia ke dalam Islam.

Demikian jugalah yang terjadi di Indonesia, kekuatan cita-cita yang lahir dari ibadah haji menjadi salah satu pendorong tumbuhnya semangat kebangsaan Indonesia merdeka.

Pengalaman bangsa Indonesia dengan wilayah yang begitu luas, berbagai pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh lautan ditambah lagi cengkeraman penjajah yang begitu lama akan tetapi karena dukungan kekuatan semangat dakwah yang diperjuangkan para wali dan dilanjutkan para ulama, Indonesia tumbuh menjadi satu-satunya negara di dunia yang terbesar jumlah penduduknya yang menganut Islam dan memiliki ciri khas keislaman yang berwawasan moderat (tawassuth), seimbang (tawazun), tegak dalam pendirian (itidal) sehingga semangat keislaman menyatu dengan semangat kebangsaan.

Sebagai buktinya KHM Hasyim Asyari bersama ulama-ulama di Jawa Timur mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang menegaskan bahwa hukumnya fardu `ain bagi umat Islam yang berada pada radius 85 kilometer dari kota Surabaya untuk berjuang mengangkat senjata melawan kolonial.

Dapat dibayangkan betapa besar sumbangan dari pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban terhadap pembangunan kehidupan umat Islam di Indonesia dan umat manusia.

Dan alangkah indahnya manakala sikap itu terus terpateri dalam kehidupan sebagai bangsa. Ali Syariati menyebutkan bahwa di dalam ibadah haji beberapa hal diungkapkan secara bersamaan yaitu pemahaman terhadap penciptaan, sejarah, keesaan, idiologi Islam dan ummah. Semua hal tersebut tersimpul berkelindan (berkaitan, terjalin dan bertalian) dalam tiga simpul ajaran: tauhid, jihad dan haji.

Pergi haji, seperti juga dikemukakan Al-Ustadz H. Fikri Haikal Zainuddin MZ dalam ceramahnya merupakan ibadah rukun kelima setelah mengucap dua kalimat syahadat, menunaikan salat lima kali sehari, mengeluarkan zakat dan berpuasa pada bulan Ramadhan). Bagi umat Islam, ibadah itu juga merupakan wujud perjalanan tauhid dan kecintaan umat Muslim kepada sang pencipta Allah SAW.

Siapa pun harus mengakui, kata Ridwan Lubis, sejatinya tauhid merupajan kunci dalam memahami keseluruhan bangunan Islam. Sebab, di dalamnya berkaitan dengan bidang akidah, syariat maupun akhlak. Dan memang Allah menciptakan manusia membekalinya dengan iman kenabian (iman nubuwwah) yang disebut fitrah agar manusia dapat mengenal Allah.
(e001/a011)

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013