Jakarta (ANTARA News) - Acungan jempol patut diberikan kepada tim perumahan atau pemondokan haji. Pasalnya, pada musim haji 1434 H/2013 M ini, tim negosiasi dari Direktorat Penyelenggaraan Ibadah Haji (Ditjen PHU) berhasil melakukan negosiasi sewa pondokan bermasalah di Mekkah, Arab Saudi, sehingga dapat terhindar dari kerugian.

Kerja keras ditunjang dengan ikhlas beramal, -- sesuai dengan moto kementerian tersebut -- , yang dilakukan tim negosiasi perumahan patut diberi apresiasi. Bukan lantaran sukses itu sudah menjadi kewajiban bagi jajaran PHU, tetapi memang sesungguhnya untuk memperjuangkan agar Indonesia tidak mengalami rugi besar. Hal itu bukanlah tugas ringan.

Maklum, meski di negara tersebut tergolong kaya akan minyak tetapi jangan lupa orang berperilaku "abu jahal" masih ada di negeri itu. "Abu Jahal" saat zaman Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, sangat membenci kehadiran Islam di negeri itu. Dan pengalaman tahun-tahun lalu, saat kontrak rumah sudah "akad", kedua pihak sudah berkomitmen mengikat kontrak, tidak mustahil pemilik pondokan membatalkan secara sepihak.

Sudah menjadi aturan, untuk melaksanakan "akad" kontrak pondokan di negeri itu selalu harus dibayarkan di muka sebesar 50 persen dari harga pondokaan atau rumah (bangunan yang menyerupai hotel). Ironisnya, kadang pemilik rumah melakukan pemutusan kontrak secara sepihak. Kendati uang dapat dikembalikan, tapi dengan cara memutus kontrak secara seperti itu telah membawa kesulitan sendiri bagi PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) Arab Saudi.

Kesulitan itu di antaranya berupa sukarnya mendapatkan pondokan baru, - sebagai pengganti pondokan yang telah diputus kontraknya. Apa lagi hal itu harus dilakukan secara cepat mengingat jemaah sudah berdatangan ke Mekkah.

Indonesia mengontrak pondokan haji sebanyak 220 rumah (pondokan) untuk kapasitas 200.960 orang pada musim haji tahun itu. Kontrak tersebut dilakukan jauh hari sebelum memasuki musim haji. Maklum, Indonesia sebagai pengirim jemaah haji terbesar sehingga harus diurus dengan baik dan dilakukan lebih awal.

Seiring perjalan waktu, setelah kontrak pondokan dibayar 50 persen, tiba-tiba pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan "mengejutkan", yaitu seluruh negara muslim - atau Organisasi Konferensi Islam (OKI) - dikenai pemangkasan kuota hajinya sebanyak 20 persen. Kuota jamaah haji seluruh dunia dipotong 20 persen agar tak terjadi penumpukan di Masjidil Haram.

Jemaah haji Indonesia dikurangi sebanyak 40 ribu lebih orang atau sekitar 20 persen dari total jemaah haji Indonesia sebanyak 211 ribu orang mulai 2013. Alasan pengurangan itu, karena Arab Saudi melakukan renovasi di sekitar Masjidil Haram, Mekkah.

Jelas saja, pemotongan jumlah jemaah haji berdampak kepada daftar tunggu jemaah haji di Tanah Air. "Waiting list kita sudah 12 tahun. Kalau dipangkas 40 ribu orang, calon yang sudah masuk waiting list dan sudah siap berangkat, akan tertunda. Semakin panjang daftar tunggunya," kata salah seorang anggota DPR, Ida Fuaziah.

Efek domino

Pemangkasan kuota ini membawa efek luas. Seperti efek domino, dampaknya dirasakan mulai sektor penerbangan Jakarta-Jeddah, transportasi lokal, katering. Pemotongan kuota itu sejatinya sebagai akibat renovasi dan pembangunan Masjidil Haram. Akibat pembongkaran di sekitar rumah suci itu, sehingga kapasitas untuk tawaf di Masjidil Haram berkurang dari semula mampu menampung 42 ribu jamaah per jam kini menjadi 22 ribu per jam.

Jika pada tahun sebelumnya kuota jamaah haji Indonesia mencapai 211 ribu orang, dengan kebijakan baru ini menjadi 168.800 jamaah. Terdiri dari 155.200 jamaah haji reguler dan 13.600 jamaah haji khusus.

Tentu saja, pengurangan jamaah ini berpengaruh pada pemondokan yang sudah disewa. Pemerintah Indonesia berkeras melobi para pemilik pondok agar mau dibayar 80 persen sesuai jumlah jamaah yang menempati. Ini logis karena hal yang tak wajar jika Pemerintah Indonesia mesti membayar pemondokan 100 persen, tapi sejatinya hanya dihuni 80 persen dari kapasitas.

Melihat realitas itu, lantas Menteri Agama Suryadharma Ali mengaku prihatin. Menag menyayangkan sebagian pemilik pemondokan haji di Arab Saudi tidak menginginkan adanya negosiasi ulang kontrak sewa pemondokan. Menteri pun bertolak ke Saudi Arabia, menemui sejumlah pejabat otoritas setempat. Hasilnya, saat itu, tidak terlalu menggembirakan meski titik terang sudah mulai terlihat.

Bagi Kementerian Agama, negosiasi ulang ini cukup dibutuhkan. Terlebih sebagai dampak dari kebijakan pemerintah Saudi sendiri, yaitu pengurangan sejumlah 20 persen kuota haji. Tercatat sekitar 20 persen pemilik pondokan yang belum menerima atau menolak negosiasi ulang kontrak sewa pemondokan.

"Kita sesalkan mereka yang tak mau menerima perubahan uang sewa akibat kebijakan pemerintahnya sendiri," kata Suryadharma usai membuka Rakernas Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Qurah Pemondokan di Makkah 1434 H/2013 M di kantor Kementerian Agama, Jalan Thamrin Jakarta, Selasa (27/8).

Negosiasi kontrak ulang juga dilakukan Kementerian Agama dengan pihak penyedia catering selama di Arab Saudi, angkutan jamaah haji Indonesia selama di Arab Saudi dan juga kontrak penerbangan dari Tanah Air ke Tanah Suci dan sebaliknya.

"Semua ini kita lakukan sehingga potensi kerugian akibat berkurangnya kuota haji bisa ditekan," jelasnya.

Potensi kerugiannya diperkirakan mencapai Rp817 miliar. Waktu tunggu keberangkatan haji pun terancam menjadi lebih panjang, kata SDA, sapaan akrab Suryadharama Ali.

Rinciannya, lanjut dia, yakni hangusnya biaya pemondokan dan transportasi yang telah dibayarkan senilai Rp247,5 miliar. Selain itu, kerugian juga berasal dari pemberian kompensasi terhadap para jamaah calon haji yang tertunda keberangkatannya senilai Rp241,8 miliar ditambah dengan kerugian berasal dari penalti pembatalan tiket pesawat haji senilai Rp327,7 miliar

Akibat pemotongan kuota haji oleh pemerintah Arab Saudi tersebut, maka jamaah haji reguler yang semula 194.000 kini menjadi 155.200 jamaah dan haji khusus semula berjumlah 17.000 menjadi 13.600. Jumlah kloternya juga berubah. Bila sebelumnya 484 kloter kini tinggal 385 kloter. Sementara maktabnya berubah dari 72 menjadi 48 pondokan.

Kebijakan pemotongan kuota ini, juga berdampak pada tertundanya hampir 25 ribu jamaah yang telah lunas. Paling dirasakan dari pengurangan kuota ini adalah waktu tunggu jadi semakin lama.

Kabar bagus

Ini baru berita bagus. Atau bisa pula disebut berita baru bagus, lantaran masih terasa aktual. Paling tidak dari sisi kepentingan penyelenggara haji. Yaitu, proses amandemen kontrak di Makkah sudah selesai 100 persen. Kini, amandemen kontrak sudah bisa ditandatangani karena sudah disepakati oleh Kementerian Agama dan pemilik rumah. Proses penyelesaian akad mu`ahhad yang dilegalisasi oleh Pemerintah Arab Saudi juga sudah berjalan.

Sejatinya, untuk menyelesaikan persoalan itu butuh waktu dan kegigihan yang optimal. Negosiasi dengan pemilik pondokan sebagai dampak pengurangan kuota 20 persen berjalan alot. "Negosiasi dengan para pemilik rumah di Makkah dilakukan setelah mendapatkan surat edaran terkait pemotongan kuota jamaah haji sebesar 20 persen," kata Sri Ilham, Direktur Pelayanan Haji Ditjen PHU.

Kebijakan pemotongan 20 persen kuota jamaah haji dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi pada Juni 2013. Sementara Pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepahaman (MoU) penyewaan pemondokan jamaah sejak Februari. Keluarnya kebijakan pemotongan tentu saja suatu kejutan bagi jajaran kementerian tersebut.

"Kita langsung memulai negosiasi sejak Juni, sejak dikeluarkannya edaran," cerita Sri Ilham.

Proses negosiasi berlangsung alot karena sebagian pemilik rumah tidak setuju dengan berbagai alasan, seperti: mereka bukan pemilik langsung, bukan sebagai investor dan mereka sudah membayar 100 persen ke pemilik rumahnya.

"Kita bersabar, terus melakukan negosiasi dan alhamdulillah kini rampung 100 persen," tegas Sri Ilham.

Sri menambahkan bahwa kontrak awal pemondokan adalah untuk 220 rumah untuk total kapasitas 200.960. Ini sudah termasuk layanan petugas kloter, klinik, sektor, selisih distribusi, dan cadangan.

Setelah dilakukan amandemen akibat adanya kebijakan pemotongan kuota jamaah haji sebesar 20 persen, jumlah kebutuhan pemondokan menjadi hanya 196 rumah untuk total kapasitas 161.380 orang. "Keberhasilan negosiasi ini adalah mengurangi kapasitas hingga mencapai 36.434 karena pembayaran dilakukan sesuai dengan jumlah penempatan jamaah," ujar Sri Ilham.

Disebutkan, total biaya pemondokan tanpa pemangkasan kuota adalah 988.583.810 riyal (setara Rp2,98 triliun). Setelah para pemilik rumah menyetujui perubahan kontrak, total biaya sewa pemondokan kini menjadi 810.364.335 riyal (setara Rp2,44 triliun). Artinya, potensi kerugian Rp540 miliar akibat pemangkasan kuota pun tak terjadi seiring dengan keberhasilan tim negosiasi untuk melakukan amandemen kontrak.

Inspektur Jenderal Kementerian Agama, M. Jasin mengapresiasi keberhasilan tim negosiasi amandemen kontrak pemondokan yang dipimpin oleh Direktur Pelayanan Haji, Sri Ilham Lubis.

"Kita mengapreasisi tim kami dari Ditjen PHU yang dipimpin oleh Ibu Sri yang terlah berhasil melakukan renegosiasi sampai batas terakhir," kata M. Jasin kepada Media Center Haji (MCH) Daerah Kerja (Daker) Makkah, Rabu (2/10).

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menjelaskan, kebijakan Pemerintah Arab Saudi melakukan pemotongan 20 persen kuota jamaah haji telah menimbulkan masalah bagi setiap negara pengirim jamaah haji. Dan sukses tim negosiasi dalam menyelesaikan amandemen kontrak sehingga Indonesia tidak harus membayar 100 persen sesuai dengan kontrak awal.

Di antara negara pengirim jamaah haji, Indonesia termasuk yang berhasil dalam melakukan renegosiasi kontrak pembayaran rumah, tidak lagi 100 persen yang dibayarkan tapi 80 persen. Ini merupakan suatu prestasi yang bagus, kata M. Jasin.

Dari hasil pemantauannya ke Komisi Haji Turki, Malaysia, India, dan Pakistan, diketahui bahwa mereka bahkan ada yang belum bisa bertemu dengan muassasah dan kecenderungannya tidak bisa dilakukan negosiasi karena kontrak sudah ditandatangani seperti Indonesia. Bahkan, mereka mengatakan bahwa yang kita acu dalam masalah negosiasi kontrak ini adalah Indonesia. Turki, India, dan Paksitan itu acuannya adalah Indonesia, tutur Jasin.

Tim negosiasi pemondokan bisa melakukan renegosiasi dengan bagus. Sementara negara lain masih mengalami kesulitan, kata M. Jasin.
(E001/M009)

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013