Seoul (ANTARA News) - Umat Muslim di Korea Selatan tidak semudah di Tanah Air atau di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk melaksanakan Shalat Jumat.

Bukan karena ada tekanan terhadap kaum Muslim di Negeri Ginseng itu. Kehidupan beragama di Korea Selatan tidak ada persoalan, baik antara pemerintah dengan kaum minoritas atau antara minoritas dengan mayoritas.

Persoalan Shalat Jumat hanya karena jarangnya masjid. Salah satu kawasan yang terdapat masjid adalah di Itaewon. Masjid yang terletak di ketinggian itu selalu dipenuhi umat Islam saat Shalat Jumat tiba.

Jamaah itu bukan hanya penduduk yang tinggal di sekitar Itaewon, tapi juga dari berbagai kawasan, termasuk para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sejumlah wilayah di Seoul dan sekitarnya.

Pada Jumat (20/9) masjid itu penuh dengan jamaah. Bahkan membeludak. Untuk wudlu saja harus antre. Selain itu banyak jamaah yang kehabisan tempat. Padahal pengelola masjid sudah menyediakan alas tambahan dari terpal warna biru di halaman masjid.

Beberapa orang tampak berdesakan dengan jarak shaf di depan dan belakangnya sangat dekat. Jamaah yang tidak membawa sajadah harus rela shalat di halaman tanpa alas. Beberapa yang lain menggunakan alas dari jaket untuk sujud. Atau menggunakan kertas.

Jamaah yang shalat di halaman berbaur dengan deretan mobil karena tempat terbatas itu juga penuh dengan mobil parkir. Tak cukup di halaman dan di bagian luar masjid, jamaah terpaksa memilih tempat di tengah tangga yang meskipun tidak terlalu lebar cukup untuk melakukan sujud.

Beberapa orang terpaksa shalat di atas tangga yang lebar ubinnya tidak lebih dari 25 centimeter. Karena itu saat duduk atau sujud, mereka menempatkan kaki dan lutut atau betisnya di ubin berbeda tingkat. Lutut dan betis berada di atas ubin satu tingkat dari kaki. Saat sujud bukannya meletakkan kepala sejajar dengan kaki, tapi sebaliknya. Kepala lebih tinggi dari kaki karena berada di atas tangga lebih atas.

"Darurat," kata salah seorang jamaah.

Berfoto

Seusai shalat Jumat, banyak jamaah yang berfoto-foto di depan masjid dengan pemandangan menengadah ke atas. Selain dengan objek sendiri dengan meminta bantuan orang lain memotret, mereka juga mengabadikan suasana dan ramainya jamaah di tempat itu. Jamaah itu betul-betul beragam. Mereka berasal dari berbagai negara dan warna kulit. Ada putih, hitam, sawo matang, bule dan lainnya.

Aktivitas foto dan merekam momen ini tidak hanya selesai shalat. Saat khotib membawakan khotbah juga tidak sedikit jamaah yang memotret atau merekam dengan video.

Menjadi khotib di masjid itu harus betul-betul pintar. Setidaknya dalam hal bahasa asing. Khotib di masjid itu menggunakan tiga bahasa, yakni Arab, Inggris dan terakhir Korea. Karena itu khotbahnya cukup panjang, antara 30 menit hingga 45 menit. Adzannya juga dua kali sebagaimana kebanyakan shalat Jumat di Indonesia.

Pisang

Selesai salat ada pembagian minuman kotak dan pisang di bagian selatan masjid. Untuk mendapatkan sebuah pisang warna kuning merata itu seseorang harus antre sebagaimana saat wudlu tadi.

Jumat ini masjid tersebut memang penuh dengan jamaah karena bersamaan dengan libur Chuseok di Korea Selatan. Chuseok adalah perayaan tradisional masyarakat Korea untuk memeriahkan panen besar di bulan purnama musim gugur. Pemerintah menetapkan libur tiga hari untuk perayaan Chuseok ini. Libur Chuseok tahun ini tepat pada 18-20 September 2013.

Semua orang Korea mudik ke kampung halaman leluhurnya saat Chuseok ini. Mereka berkumpul bersama keluarga, makan bersama dan mengunjungi makam leluhurnya. Mereka juga melakukan doa bersama sesuai tradisi masyarakat Korea tradisional.

Para tenaga kerja Indonesia atau TKI juga menikmati libur Chuseok ini. Sebagian mengunjungi Itaewon untuk melaksanakan Shalat Jumat yang selama ini jarang mereka kerjakan. Di tempat mereka bekerja tidak ada masjid.

"Biasanya kalau libur Chuseok ini kalau bertepatan dengan hari Jumat, Itaewon ramai. Karena libur Chuseok ini bersamaan," kata Bashori, TKI asal Ngajuk, Jawa Timur.

Selain bisa berkesempatan melaksanakan Shalat Jumat, para pekerja migran itu juga makan bersama dengan teman-temannya di sejumlah warung halal yang bertebaran di kawasan itu. Warung khusus Indonesia di Itaewon banyak diserbu oleh para TKI tersebut.

"Saya baru shalat Jumat sekarang ini, karena ada kesempatan libur. Kalau tidak libur ya tidak bisa shalat Jumat. Karena di tempat saya bekerja tidak ada masjid. Paling adanya cuma mushala yang disewa," kata Bashori.

Ia menjelaskan bahwa selama ini ia bekerja di pabrik pembuat busa di kawasan di Suwon.

"Biasanya ada libur agak panjang juga saat musim panas dan dingin. Tapi biasanya liburnya tidak berbarengan," kata pria yang sudah tiga tahun bekerja di Korea Selatan ini.

Sementara Andy, asal Makassar mengatakan bahwa dirinya menikmati libur panjang bersama temannya sesama asal Sulawesi Selatan itu. Ia sengaja berangkat pagi dari tempat tinggalnya di kawasan Suwon juga dan akan pulang malam hari.

Selain untuk melaksanakan shalat Jumat yang selama ini jarang ia laksanakan karena tidak ada masjid di kawasan itu, Andy juga makan di warung Indonesia. Warung miliki orang Mesir yang beristrikan orang Yogyakarta, Indonesia, itu menyediakan masakan pecel, ayam goreng, soto ayam, sate, gule, rendang, sop buntut dan lainnya. Juga tersedi minuman khas Indonesia, seperti susu telor madu jahe, termasuk yang lainya, yakni teh dan kopi.

Di Itaewon, selain menyediakan masakan halal dari India, Timur Tengah dan Indonesia juga terdapat masjid besar. Namun demikian masjid yang berada di ketinggian itu tidak mampu menampung jamaah jika hari libur bersama. Terpaksa para jamaah shalat tanpa alas dan sebagian shalat di tangga naik.

(M026/A011)

Pewarta: Masuki M Astro
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013