Jakarta (ANTARA News) - Godaan untuk berunjuk rasa sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pelayanan ibadah haji pada musim haji 1434 H/2013 M diperkirakan potensinya masih ada, meski skala atau bobotnya tidak sehebat di Tanah Air.

Hal itu bisa dipahami mengingat euforia atau perasaan sangat gembira berlebihan sebagai buah adanya reformasi dan demokrasi di tanah air ikut terbawa ke negeri orang. Warga Indonesia, dimana dan kapan pun, kini punya keberanian untuk mengemukakan pendapat dan tidak sepakat terhadap kebijakan umum (publik).

Imbauan agar jemaah haji dapat menjaga nama baik bangsa dan negara, dengan senantiasa berperilaku santun yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia kerap digaungkan tatkala jemaah hendak bertolak ke tanah suci.

Para petinggi di negeri ini seolah mulutnya berbuih mengeluarkan imbauan agar jemaah haji tidak melibatkan diri dalam kegiatan massa yang negatif berupa demonstrasi/unjuk rasa. Tapi, hampir tiap tahun ada saja jemaah haji bertindak anarkis, mengeluarkan kata keras dan tindakan tercela (fasiq).

Dari tahun ke tahun imbauan tersebut dikeluarkan agar jemaah haji Indonesia tertib. Apalagi ketika jemaah haji hendak bertolak ke tanah suci, mulai bupati/walikota hingga gubernur tampil melepas keberangkatan mereka diiringi wejangan-wejangan dan nasihat berkepanjangan yang menyebabkan jemaah lelah dan ngantuk di kursi.

Umumnya, seperti diutarakan Direktur Pembinaan Haji, Ahmad Kartono, nasihat yang harus diperhatikan Jemaah haji berkisar pada upaya menjaga kesehatan, membatasi diri untuk tidak membawa barang bawaan berlebihan atau melampaui batas ketentuan, dan harus mengindahkan jadwal melontar jumroh.

Yang tidak kalah penting adalah agar Jemaah menjaga diri dari aksi kriminal di seputar Masjidil Haram. Dengan adanya pembongkaran gedung, potensi penipuan dan pencurian makin meningkat. Di kawasan, jumlah tenaga petugas ditingkatkan.

Tapi, ketika di Mekkah, tetap saja ada yang tidak mengindahkan hal itu. Malah ada yang lebih tertarik berunjuk rasa ke kantor misi haji atau Daerah Kerja (Daker) Mekah.

Daker Madinah dan Daker Jeddah tergolong langka didemo, tapi justru di Mekkah-lah yang kerap terjadi. Umumnya, pengunjuk rasa minta layanan di pondokan diperhatikan soal hal-hal sepele, seperti ketersediaan air bersih, angkutan transportasi kota Mekkah yang dirasakan tidak baik, termasuk kualitas dari bangunan pondokan yang kadang dipermasalahkan.

Sejak 2007 hingga 2012, unjuk rasa jemaah haji ke Daker Mekkah seolah tak pernah berhenti. Skalanya memang kini cenderung menurun seiring makin membaiknya pelayanan dari petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH).

Meski demikian, PPIH Arab Saudi, untuk musim haji tahun ini, justru harus lebih mengedepankan ekstra hati-hati. Artinya, antisipasi harus dikedepankan mengingat kondisi lingkungan kota Mekkah jauh lebih hiruk-pikuk atau ramai dengan diwarnai bertebarannya debu sebagai dampak mega proyek perluasan Masjidil Haram yang belum selesai.

Ini secara psikologis turut memberi kontribusi pada tingkat emosional jemah haji. Terlebih jemaah haji Indonesia belum mengenal lingkungan, ruas jalan, karakteristik budaya orang Arab dan tempat ibadah dan lokasi bersejarah secara keseluruhan di wilayah tersebut.

Pada musim haji 1434 H/2013 M, jumlah jamaah haji Indonesia yang akan berangkat sebanyak 168.800 dengan rincian 155.200 orang untuk haji reguler dan haji khusus 13.600 orang. Ini setelah dilakukan pemotongan kuota sebesar 20 persen dari kebijakan Saudi Arabia akibat dampak perluasan kompleks Masjidil Haram.

Jumlah yang dipotong sebanyak 42.200 dengan perhitungan berdasarkan basis kuota 211.000 orang. Jumlah potongan itu terdiri atas 38.800 haji reguler, dan 3.400 haji khusus. Selain itu, pada musim haji kali ini, Ditjen PHU menyertakan petugas haji non-kloter sebanyak 800 orang dari berbagai instansi.

Ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Banyak orang mengira bahwa dengan melaksanakan ibadah haji seseorang pasti akan masuk surga, karena memang demikian Rasulullah menyabdakan melalui haditsnya, yang artinya: "Haji mabrur akan dibalasi di sisi Allah dengan Surga. Sabda Rasul tersebut, benar, tetapi siapakah yang tahu atau dapat menjamin bahwa ibadah hajinya bernilai mabrur di sisi Allah".

Haji yang mabrur

Sejatinya, menurut Menteri Agama Suryadharma Ali, orang yang melaksanakan ibadah haji dan mendapat predikat mabrur di sisi Allah hanya dapat dinilai ketika sesudah melaksanakan ibadah haji yang bersangkutan berperilaku lebih baik dalam seluruh aspek kehidupan dibanding sebelumnya.

Sebab, berhaji adalah perenungan hidup yang telah berlalu untuk memahami hakikat hidup sesungguhnya di masa datang. Karena itu, untuk mencapai mabrur, perlu segala perilaku yang bersangkutan bernilai positif, hidupnya punya arti dan bermanfaat. Bukan saja bagi dirinya dan keluarganya, tapi juga bagi masyarkat, bangsa dan agamanya.

Terkait dengan itu, maka menjaga keikhlasan dan kesabaran bagi jemaah harus dikuatkan dalam hati. Sebab, banyak masalah di tanah suci yang akan dihadapi. Penyebabnya, ya lantaran besarnya jumlah jemaah haji dari seluruh negara Muslim. Di sisi lain, adanya keterbatasan fasilitas, adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.

Unjuk rasa sebagai dampak kurangnya air bersih di pemondokan, misalnya, bisa muncul. Padahal, hal itu sangat sepele. Karena jemaah kurang memahami kultur dan lingkungan setempat, demontrasi bisa membesar di kantor Daker Mekkah.

Padahal, jika dilihat secara proporsional, kesulitan air bersih - yang paling sering terjadi pascawukuf - disebabkan sulitnya petugas mobil tanki mengirim air ke pemondokan. Saat itu, lalu lintas sangat padat. Seperti diketahui, air bersih di pemondokan di Mekkah yang merupakan hasil penyulingan air laut, dibawa dengan mobil tanki dari luar kota. Sesampainya di Mekkah, lalu air dipompa ke bak penampungan di lantai paling tinggi dari bangunan gedung bersangkutan.

Masalah kedaruratan dalam berhaji kerap muncul. Ya, seperti itulah kenyataannya. Belum lagi, pada saat puncak ritual haji, lalu lintas di kota Mekkah dialihkan oleh pihak orotitas setempat tanpa sosialisasi. Hal inilah yang kadang menyulitkan petugas PPIH yang mengurusi transportasi. Jika koordinasi lemah dan lengah sediki saja, potensi ketikdakpuasan dari jemaah haji bakal memuncak dalam bentuk unjuk rasa.

Lagi-lagi, jika menghadapi persoalan seperti itu, tidak ada jalan lain. Jemaah harus mengedepankan sikap sabar. Di tanah haram pengendalian diri perlu diperkuat. Bukan sekedar retorika, tetapi kata dan perbuatan harus sama dalam rangka menggapai haji mabrur.

Menteri Agama Suryadharma Ali minta kepada jemaah haji untuk memahami kondisi kedaruratan dalam menjalankan ibadah di tanah suci, khususnya pada puncak ritual haji di Mekkah. Jemaah harus memahami keadaan yang berbeda dengan di tanah air. Misalnya, jika di tanah air untuk mandi dapat dilaksanakan tanpa mengantri, justru di sana harus menyesuaikan diri dengan antri.

Juga jika di tanah air masuk mobil dibukakan, tapi di sana bisa terjadi saling berebut. Juga ketika makan, harus antri. Ketika puncak rituak haji, di Masjidil Haram terjadi saling desak. Tatkala shalat bisa terjadi kepala saat sujud terinjak orang dari negara lain. Kondisi kedaruratan semacam ini harus dipahami dengan cara meningkatkan kesabaran.

(E001/Z003)

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013