Jakarta (ANTARA News) - Negara Indonesia sudah lama terkenal sebagai salah satu negara Muslim yang banyak mengirimkan jamaah haji. Reputasi itu kemudian diperkuat dengan status Indonesia yang juga menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Karena dua faktor itu, tidak heran jika pengiriman jamaah haji dari Indonesia sudah berlangsung dalam waktu lama.

Dalam sebuah sumber di internet, sejarah pengiriman jamaah haji sudah mulai dilakukan sejak zaman penjajahan di abad ke-19. Saat itu, masyarakat yang terdaftar sebagai jamaah haji harus bersabar menempuh perjalanan yang panjang hingga berbulan-bulan untuk sampai ke Mekkah. Perjalanan panjang itu ditempuh melalui laut dengan menggunakan kapal layar.

Meskipun pada masa itu jamaah haji sudah ada yang berhasil diberangkatkan, ternyata mereka semua berangkat tidak dengan koordinasi pemerintah ketika itu. Waktu itu belum berdiri negara Indonesia, yang ada adalah pemerintahan Hindia Belanda, sehingga wajar kalau mereka berangkat secara sendiri-sendiri.

Namun, tidak berapa lama kemudian Belanda mengeluarkan sejumlah peraturan haji yang salah satunya adalah Ordonasi di tahun 1825.

Kemudian, pada tahun 1912, Perserikatan Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan secara bersama mendirikan Bagian Penolong Haji dan diketuai KH M Sudjak. Pendirian lembaga ini ternyata mampu menjadi perintis berdirinya lembaga serupa saat itu.

Dan pada 1922, pemerintah saat itu berinisiatif mendirikan Direktorat Urusan Haji. Pendirian itu kemudian mengilhami Volksraad untuk mengubah poin dalam ordinasi haji.

Dalam ordonasi yang kemudian dikenal dengan Pilgrim Ordinasi 1922 disebutkan bahwa bangsa pribumi dapat mengusahakan pengangkutan calon haji. Dengan adanya perubahan itu, secara perlahan pengiriman jamaah haji mulai dilakukan secara bersamaan oleh pribadi dan negara.

Bagi masyarakat saat itu, kondisi itu tentu saja cukup melegakan karena semakin memudahkan masyarakat yang ingin berhaji.

Setelah berlangsung cukup baik, aktivitas pemberangkatan jamaah haji sempat vakum selama kurun waktu 1945-1949. Namun, pemberangkatan kembali jamaah haji ke Mekkah baru benar-benar dilaksanakan pada 1949/1950.

Pada awal penyelenggaraan kembali, pengiriman dilakukan dengan melibatkan secara bersamaan antara Departemen Agama, Yayasan Perjalanan Ibadah Haji (YPIH) dan badan-badan lain yang terkait.

Alasan dilibatkannya lembaga terkait, karena saat itu Indonesia dianggap baru merdeka dan karenanya diperlukan seluruh potensi yang ada sesusai fungsi dan kedudukan masing-masing. Pada awal-awal penyelenggaraan kembali, negara belum bisa mendapat keuntungan karena saat itu masih dalam tahap peralihan dan negara sama sekali belum berpengalaman.

Pada awal penyelenggaraan itu, negara juga dipengaruhi oleh badal-badal syekh dan broker atau tengkulak haji. Dari sana, kemudian muncul usaha-usaha perorangan dan panitia-panitia penyokong haji yang banyak melibatkan pihak swasta dan jasa haji.

Penyelenggaraan haji oleh swata saat itu, pada pelaksanaannya ternyata tidak ada rasa tanggungjawab dari mereka dan justru cenderung mencari keuntungan sebanyak mungkin.

Setelah melewati rangkaian masa percobaan yang cukup panjang, akhirnya mulai tahun 1969 pemerintah secara penuh menangani pemberangkatan jamaah haji.

Pengambilalihan penuh itu dilakukan karena sebelumnya banyak calon jamaah yang mengeluhkan banyaknya kendala saat diberangkatkan oleh swasta. Bahkan, dalam keluhan itu tidak sedikit ada yang mengaku akhirnya gagal diberangkatkan ke Tanah Suci.

Maka dengan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan mengambil alih semua proses penyelenggaraan perjalanan haji oleh pemerintah.

Dan karenanya, dua penyelanggara ibadah haji milik swasta dan perorangan, yakni Yayasan Penyelenggaraan Ibadah Haji (YPHI) dan PT Arafat, yang masing-masing sebelumnya sempat menjadi satu-satunya penyelenggara ibadah haji, secara otomatis menghentikan kegiatannya.

Hingga saat ini, penyelenggaraan ibadah haji sepenuhnya terus dikendalikan oleh negara.
(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009