Seorang laki-laki tua terlihat mondar-mandir dengan wajah penuh harapan, setelah dia lolos menjalani tes kesehatan terakhir jemaah calon haji di Asrama Haji Donohudan, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada Kamis (22/10).

Kakek tersebut kelihatan ingin memisahkan diri dari rombongan calhaj lainnya asal Kabupaten Jepara yang sedang sibuk antrean tes kesehatan di asrama. Dia berjalan-jalan di sekitar lokasi asrama dengan rasa bahagia karena namanya tercatat ikut rombongan kloter dua calon haji yang diberangkatkan ke Tanah Suci, Jumat (23/10) ini.

Lelaki berusia 69 tahun itu bernama Muhammadun, seorang warga asal Desa Pulau Parang, Kecamatan Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jateng, yang ikut dalam rombongan calhaj kloter dua.

Muhammadun yang akrab dipanggil Kiai Madun itu merasa terharu dan bersyukur karena dia adalah satu-satunya warga di Pulau Parang yang berangkat ibadah haji ke Tanah Suci.

"Saya adalah warga Pulau Parang, yang letaknya terpencil, yang pertama kali berangkat haji ke Tanah Suci. Saya juga satu-satunya kiai di pulau itu," kata Madun, sambil mengusap air matanya karena terharu.

Madun kemudian menceritakan saat dia akan meninggalkan desa di Pulau Parang, pulau paling terpencil dari sisi geografis di antara lima pulau berpenghuni dari 27 gugus pulau di Kepulauan Karimunjawa.

Ia mengatakan, air mata haru dan bahagia tak terasa membasahi pelupuk matanya, tatkala melangkahkan kaki keluar dari rumahnya, untuk menuju Tanah Suci Mekah. Sanak keluarga dan tetangga yang memenuhi rumahnya yang sederhana juga turut terharu melepas kepergiannya.

Menurut kakek yang mengaku memiliki 18 cucu ini, bagi masyarakat setempat, Madun nantinya merupakan orang pertama yang akan mempunyai tanda haji di depan namanya kelak.

Selain itu, sebagai satu-satunya ulama yang tinggal di pulau kecil dan paling luar dari Jawa Tengah ini, tentunya sangat dikenal seluruh penghuninya. Tak heran jika dia harus memotong seekor sapi untuk menjamu pada saat mengadakan selamatan untuk berpamitan dengan sanak keluarga dan tetangganya.

Madun mengaku, dirinya mengawali keberangkatan dari rumah menuju Asrama Haji Donohudan Boyolali sejak dua bulan lalu. Langkah ini perlu diambil, karena dia membutuhkan bimbingan manasik meski sudah dipelajarinya dalam kitab Fiqih.

Selain itu, pria kelahiran Kabupaten Pati yang hijrah ke Pulau Parang pada tahun 1960 ini ingin mengenal teman-teman satu rombongan kloter dua asal Jepara, yang akan bersama-sama berangkat haji.

Apalagi perjalanan dari Pulau Parang hingga Jepara membutuhkan waktu hingga 12 jam dengan menggunakan perahu motor yang biasa digunakan para nelayan.

"Saya berangkat lebih awal untuk mengenal teman-teman calhaj lainnya," katanya.

Hampir gagal

Madun bersama rombongan kloter dua lainnya asal Jepara setelah sesampai di Asrama Haji Donohudan, Kamis (22/10), sekitar pukul 12.00 WIB, merasa sedikit lega.

Dia dengan wajah penuh semangat mengikuti rangkaian kegiatan yang diselenggarakan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Solo. Dia mengikuti mulai dari pemeriksaan kesehatan akhir, menerima paspor, gelang identitas, dan juga menerima uang saku.

Sambil duduk santai di tempat istirahatnya dalam asrama, kakek yang mengaku duda ditinggal wafat isterinya lima tahun silam ini, mengemukakan keinginannya untuk dapat melaksanakan ibadah rukun Islam ke lima.

Menurut Madun, niat menjalankan ibadah haji sebenarnya pada tahun 1978, tetapi istrinya bernama Jaizah keberatan karena hanya sendiri dan tidak ada yang menemaninya.

Namun, sepeninggal sang istri, pada 2004, keinginan Madun menguat kembali sehingga dia rela menjual sebidang tanah di tempat kelahirannya di Tayu, Pati.

"Saya sempat menjual sebidang tanah milik saya untuk naik haji dan tanahnya itu terjual sekitar Rp25 juta," katanya.

Namun, Tuhan menghendaki lain. Midun diberikan cobaan berupa sakit yang cukup parah, bahkan harus menjalani operasi. Madun harus mengeluarkan biaya tidak sedikit hingga uang tabungan yang rencananya untuk membayar ONH, berkurang Rp13 juta.

Setelah sembuh dari sakit dideritanya, dia berusaha keras agar dapat membayar biaya perjalanan ibadah haji.

Dia sedikit demi sedikit mengumpulkan uang dari menjual buah kelapa yang tumbuh di pekarangan sekitar rumahnya. Setiap bulan sekali, dia mengirim kelapa dengan menyewa perahu motor dan menjualnya di Jepara.

Dia pada tahun 2007 dapat mengumpulkan uang yang cukup untuk mendapatkan tempat duduk haji dengan waktu keberangkatan tahun 2009 ini.

Madun mengakui, fanatisme terhadap agama Islam sangat kuat, tetapi pengamalannya masih sangat kurang. Pulau tempat tinggalnya sangat kecil jika dibanding Pulau Jawa.

Menurut dia, Pulau Parang memiliki penduduk berasal dari berbagai suku seperti Bugis, Buton, Madura dan Jawa.

"Saya bertekad, sepulangnya dari Tanah Suci ingin mengabdikan sisa umurnya untuk membimbing masyarakat agar makin mendalami agamanya, dan pada saatnya kelak ikut menunaikan ibadah haji ke Makkah Mukarramah," kata ayah dari enam anak ini.(*)

Pewarta: Bambang Dwi Marwoto
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009